Pakistan Tunjuk Kepala Baru Badan Mata-mata ISI yang Berpengaruh 

  • Ayaz Gul

Letnan Jenderal Muhammad Asim Malik, kepala baru badan mata-mata Pakistan, Inter-Services Intelligence (ISI) (Foto: Pakistan State TV)

Pakistan telah menunjuk Letnan Jenderal Muhammad Asim Malik sebagai kepala baru badan mata-mata negara itu, Inter-Services Intelligence, atau ISI.

Langkah itu diambil di tengah kritik yang datang terus-menerus terhadap lembaga berpengaruh yang dikelola militer tersebut atas dugaan perannya dalam menentukan atau menghancurkan pemerintahan terpilih di negara di Asia Selatan itu.

Seorang sumber senior di bidang keamanan Pakistan, pada Senin (23/9), mengonfirmasi kepada VOA bahwa Malik akan menjabat sebagai direktur jenderal berikutnya pada 30 September, menggantikan ketua ISI saat ini, Nadeem Anjum.

Sayap media militer belum mengomentari penunjukan pejabat tinggi tersebut, namun media penyiaran pemerintah Pakistan melaporkannya dengan profil singkat ketua ISI yang baru.

Malik lulus dari Fort Leavenworth di Amerika Serikat dan Royal College of Defense Studies di London dan saat ini menjabat sebagai ajudan jenderal di markas militer di Rawalpindi, berdekatan dengan ibu kota Pakistan, Islamabad.

BACA JUGA: Pasca Serangan di Pakistan, Kemenlu Pastikan Diplomat Indonesia Selamat

Campur tangan ISI dalam politik nasional akhir-akhir ini menjadi bahan perdebatan sengit di media nasional dan kalangan politik Pakistan.

Mantan Perdana Menteri Imran Khan yang dipenjara menuduh ketua ISI saat ini, Anjum, memainkan peran atas perintah militer dalam menggulingkannya dari kekuasaan pada tahun 2022 melalui mosi tidak percaya di parlemen oposisi, melancarkan tuntutan hukum yang gegabah, dan melancarkan tindakan keras terhadap partai Tehreek--e-Insaf Pakistan yang dipimpin Khan untuk mencegahnya kembali berkuasa.

Beberapa hakim pengadilan federal dan provinsi, dalam suratnya baru-baru ini kepada ketua Mahkamah Agung, juga menuduh ISI menekan mereka untuk memutuskan kasus terhadap Khan guna memastikan dia tetap berada di penjara.

Mantan perdana menteri yang dipenjara itu tetap menjadi politisi paling populer di Pakistan. Pihak militer sebaliknya baru-baru ini menangkap pendahulu Anjum, Faiz Hameed, dan memulai pengadilan militer terhadapnya atas berbagai tuduhan, termasuk penggunaan posisinya sebagai ketua ISI untuk memungkinkan Khan menekan lawan politik saat menjabat.

Keputusan Khan untuk tidak membiarkan Anjum menggantikan Hameed pada Oktober 2021 diyakini secara luas telah membuat marah pihak militer dan akhirnya menyebabkan perdana menteri itu dicopot dari kekuasaan beberapa bulan kemudian.

BACA JUGA: Perusahaan Investasi China akan Buka Kawasan Industri Tekstil di Pakistan

Pemerintahan berikutnya dan militer menyangkal mempunyai peran politik atau menekan hakim, sebuah klaim yang disengketakan. Tentara telah memerintah Pakistan selama lebih dari tiga dekade sejak negara itu memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1947.

Mantan perdana menteri Pakistan, termasuk Khan, dan partai politik mengatakan para jenderal memegang kendali atas kebijakan luar negeri dan masalah keamanan nasional. Khan dalam pernyataan dari sel penjaranya terus-menerus menuduh bahwa pemerintahan koalisi Perdana Menteri Shehbaz Sharif saat ini “hanyalah boneka” militer.

Ia menuduh pimpinan militer menggunakan ISI untuk melakukan kecurangan besar-besaran pada pemilu parlemen yang digelar pada 8 Februari tahun ini untuk mencegah partainya menang.

Tuduhan tersebut didukung oleh keputusan mayoritas Mahkamah Agung yang dikeluarkan pada hari Senin, yang menyelesaikan petisi mengenai kontroversi sebelum dan sesudah pemilu.

Putusan tersebut menyatakan beberapa tindakan komisi pemilu Pakistan menjelang pemilu “melanggar hukum,” dan menyatakan bahwa tindakan tersebut dimaksudkan untuk menghalangi kandidat yang dicalonkan PTI untuk menang.

BACA JUGA: Dianggap Tak Hormati Lagu Kebangsaan Pakistan dan Iran, Diplomat Taliban Tuai Kecaman

Keputusan tersebut menyatakan bahwa komisi tersebut “telah gagal melakukan peran ini dalam pemilihan umum tahun 2024.” Laporan tersebut mencatat bahwa tindakan otoritas pemilu “secara signifikan melanggar hak-hak para pemilih dan merusak legitimasi institusional mereka.”

Hasil pemungutan suara tersebut telah memperburuk kekacauan politik yang dipicu oleh tergulingnya Khan, sehingga melemahkan upaya Pakistan untuk menstabilkan perekonomian negara tersebut yang sudah bermasalah. Meningkatnya kekerasan militan, khususnya di provinsi Khyber Pakhtunkhwa dan Baluchistan, yang berbatasan dengan Afghanistan, telah menambah tantangan yang dihadapi pemerintahan Sharif yang didukung militer.

“Semua ini memiliki kesamaan dengan masa lalu – pemerintah yang tidak mau terlibat dengan oposisi, memenjarakan para pemimpin oposisi, mencoba untuk mengatur undang-undang, dan oposisi yang putus asa terus-menerus melakukan protes dengan latar belakang kesuraman ekonomi, lemahnya pemerintahan, dan kalangan mapan mengendalikan dari balik layar,” tulis Maleeha Lodhi, mantan duta besar Pakistan untuk AS dan PBB, dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh surat kabar Pakistan DAWN pada hari Senin.

Istilah kalangan mapan di Pakistan mengacu pada militer dan badan intelijennya. [my/lt]