Kawasan Cicendo Bandung tidak mirip galeri seni. Daerah ini dipenuhi banyak kios kayu yang menjual barang bekas, dari onderdil motor sampai barang elektronik. Namun, Gang Citra di kawasan ini, yang lebarnya hanya cukup untuk satu mobil, justru dipilih menjadi lokasi pameran karya Jitno Slamet.
Sejak 17 Agustus kemarin, Jitno memamerkan sekitar 40 buah karyanya dalam pemeran bertajuk "Indonesia Rakyat". Lelaki 64 tahun ini mengatakan, seni seolah-olah hanya bisa dinikmati kalangan berada. Padahal sedianya tidak begitu. Karenanya, ia ingin membuat seni menjadi milik semua golongan.
"Masyarakat di bawah, yang sebetulnya intelektualnya tidak kalah, cuma karena fasilitas yang dia harus hadapi, terus dia kan malas. Fasilitasnya tidak ada," ujarnya ketika ditemui di gang Citra, Jalan Komud Supadio, Bandung, Kamis (23/8) sore.
"Tah, kenapa saya tidak pameran di masyarakat langsung supaya interaksinya lebih kena. Karena karya-karya saya yang diusung kebanyakan kehidupan masyarakat yang dilemanya lebih kompleks, lebih tinggi," kata Jitno.
Lukisan Jitno sejak 1999 sampai 2018 yang dipamerkan umumnya menyuarakan ketimpangan ekonomi dan keresahan masyarakat kecil. Lukisan "Kali Mayat Jakarta" menunjukkan pemukiman kumuh yang dikontraskan dengan gedung-gedung pencakar langit di belakangnya. Sementara lukisan "Gedung Wakil Rakyat" menunjukkan rancangan gedung DPR yang baru, namun disusun dari ribuan rumah kayu sederhana.
"Terus simbol-simbol kegelisahan orang, cita-cita manusia, yang ingin punya apartemen. Ini lho kebahagiaan. Ah, tidak lah, dengan romantika cara mengusungnya, ini jadi kenyamanan. Jadi hiburan sebetulnya. Oke lah nyinyir, tapi jadi hiburan," ujar lelaki asli Bandung ini.
Jitno "Gerbong", demikian dia akrab disapa, menempuh pendidikan akuntansi dan awalnya bekerja di hotel di Jakarta selama tiga tahun. Ketertarikannya dengan dunia seni membawanya berkunjung ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan belajar banyak dari para seniman di sana.
Panggilan hati membuatnya banting stir menjadi seniman dan mulai menggelar pameran debutnya pada 1981. Selama lebih dari 30 tahun berkesenian, Jitno sudah menggelar puluhan pameran, baik pameran tunggal maupun bersama seniman lain.
Pameran di gang ini terus dilewati motor dan warga. Sesekali ada pedagang yang memarkirkan dagangannya di depan lukisan untuk menikmati goresan kuas Jitno. Warga setempat yang juga guru SD, Herlina, mengapresiasi pameran ini sebagai sarana mengenalkan seni.
"Tidak semua mungkin bisa datang ke pameran lukisan. Jadi masyarakat yang biasa, apalagi sibuk mungkin ibu-ibu, setidaknya hanya dengan melihat sekilas juga mungkin tanggapannya pasti positif," ujarnya yang pernah datang ke pameran lukis ini.
Sementara bagi Mila Herliani, ibu rumah tangga, ini pertama kalinya dia melihat pameran lukisan.
"Menurut saya bagus karena orang yang lewat kan lebih tertarik, lebih banyak warnanya juga. Memang lagi musimnya yang gini temboknya jadi nggak dibikin polos. Kalau saya sukanya gambarnya kayak doodle, yang full-color," jelasnya seraya menambahkan bahwa dia sudah berfoto dengan sang pelukis.
Saat berbincang dengan VOA, angin menepak lukisan-lukisan Jitno ke tanah. Ia meminta tiga siswa SD yang lewat membantu merapikannya ke tembok gang.
Jitno belajar melukis lewat menggambar alam. Namun ketertarikan terbesarnya adalah masyarakat sekitar. Dia mendapatkan banyak inspirasi dari karya-karya Affandi, Hendra Gunawan, dan Soedjojono. Meski kerap dikatakan belagak humanis, Jitno tidak berhenti menyuarakan isu sosial.
"Ini kehidupan kita lho, ini yang mesti kita hadapi lho. Siap nggak? Waduh, gaya, ngajak jadinya, ayolah fight. Tidak punya uang fasilitas sedikit kita itu sudah siap. Apalagi kalau kita berjuang," kata lulusan Universitas Widyatama, Bandung, ini menambahkan.
Lukisan-lukisannya pernah dihargai dengan harga jutaan rupiah. Seorang ibu di gang ini pernah datang menanyakan makna-makna lukisannya. Tertarik melihat keseriusan sang ibu mengetahui makna lukisannya, Jitno menggambar sketsa wajah sang ibu, yang dengan tulus langsung memberinya uang 10 ribu rupiah.
"Terenyuh nggak udah ada penghargaan? Ugh! Dihargai saya sama ibu itu. Ibu rumahnya di mana? Di sana, suami saya sudah meninggal tapi dia masih punya uang tetap ingin ngasih ke saya 10 ribu. Apa nggak hebat? Kemanusiaanya. Nggak ada di galeri.”
Baginya, penghargaan itu tulus dan menjadi kepuasan tertinggi. [rt/em]
Your browser doesn’t support HTML5