Direktur Bandung Independent Living Center (BILiC), Yuyun Yuningsih mengungkapkan, berdasarkan survei di kota Bandung terhadap 700 pekerja penyandang disabilitas, pandemi corona ternyata menurunkan penghasilan mereka hingga 80 persen. Bukan hanya itu, wabah corona juga membuat penyandang disabilitas terutama perempuan mengalami sejumlah tantangan terkait pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Survei yang dilakukan melalui telepon, dan ada beberapa yang curhat tentang kondisinya. Tampaknya curhatnya (perempuan penyandang disabilitas) tidak begitu memahami bahwa itu adalah tindakan kekerasan terhadap dirinya. Kami temukan itu kekerasan psikis, fisik, eksploitasi, dan pengabaian sampai ke penelantaran," kata Yuyun dalam diskusi daring Pengalaman Pencegahan dan Pendampingan Kasus Kekerasan di Masa Pandemi Covid-19, Rabu (20/5).
BACA JUGA: Masker Transparan Bantu Komunikasi Bisu Tuli di Tengah PandemiMenurut Yuyun, kebijakan PSBB membuat para perempuan penyandang disabilitas terutama yang memiliki peran ganda sebagai ibu dan pekerja dihadapkan pada situasi sulit. Mereka kerap menjadi korban kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT).
"Kesulitan ekonomi menjadi penyulut cekcok yang berujung pada tindakan kekerasan dari suami kepada istri yang notabene perempuan penyandang disabilitas. Lalu, ada tekanan dari pihak mertua ketika penyandang disabilitas menjadi ibu dan memiliki seorang anak karena fisiknya yang tidak aksesibilitas menjadi tantangan atau hambatan tersendiri," ucapnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Kekerasan yang dialami perempuan penyandang disabilitas di Bandung tidak sampai di situ. BILiC menemukan, sejumlah perempuan penyandang disabilitas dipaksa menjalani sterilisasi, atau pengguguran kandungan.
"Jadi diminta untuk pil KB karena dikhawatirkan di masa pandemi ini dengan kebijakan PSBB harus di rumah jadi ditakutkan hamil dengan kondisi ekonomi belum stabil. Jadi akhirnya diminta untuk KB bahkan sampai sterilisasi. Ada juga yang diminta untuk menggugurkan kandungan karena berasumsi punya anak lagi dalam kondisi seperti ini adalah sebuah beban yang besar sehingga jalan terbaik adalah menggugurkan kandungan," ungkap Yuyun.
BILiC juga menemukan, sejumlah perempuan penyandang disabilitas dipaksa menjadi pengemis untuk menopang kehidupan rumah tangga mereka. "Disuruh meminta-minta atau mengemis karena memang masyarakat kita itu melihat perempuan penyandang disabilitas menjadi berempati sehingga ada yang pasangannya menjadi pengemis. Atau mengakses berbagai bantuan sosial dari pelbagai pihak. Jadi dieksploitasi dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan bagi keluarga," ujar Yuyun.
Asdep Perlindungan Hak Perempuan Dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Nyimas Aliah, memprihatinkan nasib perempuan penyandang disabilitas.
"Kondisi penyandang disabilitas terutama perempuan itu masih jauh dari yang kita harapkan. Meskipun regulasi untuk perlindungan hak perempuan penyandang disabilitas sudah cukup baik saat ini," katanya.
Kementerian PPPA telah menyusun protokol panduan perlindungan khusus bagi perempuan, termasuk penyandang disabilitas. Menurut Nyimas, perempuan yang mengalami kekerasan semasa pandemi corona harus mendapatkan perlindungan. "Besok akan kami sosialisasikan," ujarnya.
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu menjelaskan kurang responsifnya instansi penyelenggara layanan aduan online menjadi penyebab enggannya korban mengadukan kekerasan yang dialaminya.
"Ketika membuat sistem pengaduan secara daring, hasil kajian yang dilakukan oleh Ombudsman RI itu tidak semuanya berjalan dengan baik. Banyak sekali dari sistem pengaduan daring tapi hanya 30 persen yang kemudian diangkat (diproses)," jelasnya. [aa/ab]