Pandemi Jadikan RUU Cipta Kerja Semakin Tak Layak

  • Nurhadi Sucahyo

Para buruh perempuan dalam aksi protes untuk menolak Omnibus Law di Jakarta, 13 Januari 2020. (foto: dok).

RUU Cipta Kerja yang dikenal luas sebagai omnibus law telah mendapat penolakan yang begitu besar sejak wacana awal digulirkan. Pandemi virus corona yang kini masih berlangsung, memperkuat keyakinan sejumlah pihak bahwa RUU ini kian tidak layak. Mereka menilai, tidak hanya proses pembahasannya harus dihentikan, materi di dalamnya bahkan wajib ditinjau ulang.

Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan Pradiptya mengupas persoalan itu dalam diskusi dari pada Jumat (8/5) sore. Dia memaparkan, dunia akan berbeda sebelum, selama dan setelah pandemi virus corona, termasuk iklim bisnis di dalamnya. Kondisi dunia sebelum pandemi yang dijadikan landasan penyusunan RUU Cipta Kerja, tidak sesuai dengan kondisi baru pasca pandemi nanti.

Rimawan Pradiptyo. (Foto: Nurhadi)

“Ini menciptakan lansekap norma baru. Pertanyaannya, post COVID itu sudah terjadi belum? Jawabannya, belum. Sementara RUU ini dibangun ketika pra COVIDCOVID. Disiapkan ketika pra COVID. Artinya, asumsi-asumsi dasar dan semua bisnis proses, didasarkan pada kondisi pra COVID. Harapannya diketok pasca COVID. Kondisi pasca COVID akan seperti apa? Kita belum tahu sampai sekarang,” kata Rimawan.

Diskusi daring ini merupakan bagian dari seri diskusi terkait omnibus law yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM.

Pandemi Merubah Lansekap Ekonomi

Rimawan memberi contoh, ada perubahan besar setelah perang dunia, baik pertama maupun kedua. Begitupun pandemi flu spanyol mampu mempengaruhi norma hidup masyarakat dan lansekap ekonomi dunia. Karena itulah, dalam sejarah tercatat tidak ada parlemen di dunia yang membahas sebuah RUU di masa pandemi, karena diyakini undang-undang baru tidak akan sesuai dengan situasi.

“Sekarang dalam kondisi pandemi, semua ekonom sepakat bahwa tidak rasional membicarakan kebijakan yang dampaknya jangka panjang. Apalagi jika RUU itu disusun sebelum pandemi terjadi. Artinya, kalau dibahas sekarang, kita dalam bahaya,” lanjut Rimawan.

Keyakinan pemerintah, bahwa melonggarkan aturan akan mengundang investasi juga tidak luput dari kritik Rimawan. Negara-negara seperti Singapura, Jepang dan Korea Selatan memiliki aturan yang lebih banyak. Investor masuk kesana, lanjut Rimawan, karena tindak korupsinya lebih kecil. Negara hadir di tengah iklim bisnis untuk melakukan kontrol, sedangkan di Indonesia berlaku sebaliknya.

Diskusi daring Omnibul Law oleh Fakultas Hukum UGM, Jumat, 8 Mei 2020. (Foto: screenshot)

Burun Migran dan Perempuan Terdampak

Anis Hidayah dari Migrant Care yang turut berbicara dalam diskusi daring ini menyoroti dampak RUU Cipta Kerja yang akan diperparah dengan dampak pandemi. Bukan tidak mungkin, buruh yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi ini, akan beralih menjadi pekerja migran.

“Menurunnya kesejahteraan buruh dan potensi PHK tanpa pesangon, akibat omnibus law ini, nanti juga diprediksi akan semakin mengencangkan arus pekerja ke luar negeri, dengan proteksi yang seadanya. Di satu titik dampak omnibus law ini akan bertemu dengan dampak corona, ini tidak bisa dibayangkan,” kata Anis.

Your browser doesn’t support HTML5

Pandemi Jadikan RUU Cipta Kerja Semakin Tak Layak

Apa yang terjadi terhadap Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia di kapal China, kata Anis merupakan contoh paling nyata terkait kondisi yang dihadapi pekerja migran. Mereka harus menghadapi praktik eksploitasi, perdagangan manusia dan pelanggaran HAM. Ke depan, masyarakat akan lebih banyak menyaksikan praktik perbudakan lebih sistemik di seluruh sektor pekerja migran.

Anis Hidayah, Kepala Pusat Studi Migrasi Migrant CARE.

Selain sektor pekerja migran, yang akan sangat terdampak oleh RUU Cipta Kerja adalah buruh perempuan. Menurut Anis, dengan aturan yang lama saja, buruh perempuan telah menerima begitu banyak diskriminasi. Dia memberi contoh, disparitas upah, pemberangusan serikat buruh perempuan, ketidakdilan dalam cuti haid hingga cuti melahirkan. “Karena itu teman-teman jaringan organisasi buruh perempuan setiap tanggal 1 Mei selalu menyampaikan catatan hitam. Bagaimana kita melihat, praktik diskriminasi terhadap buruh perempuan itu masih terus terjadi sampai hari ini,” tambah Anis.

Kondisi itu diyakini akan memburuh, jika RUU Cipta Kerja benar-benar disahkan nantinya.

Enam Kelemahan Besar

Dosen Fakultas Hukum UGM, Nabiyla Risfa Izzati mencatat setidaknya ada enam faktor yang menjadi alasan mengapa RUU Cipta Kerja memiliki kekurangan. Alasan pertama adalah karena akan terjadi pengaburan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 memiliki aturan yang jelas terkait ini. Dengan skema baru yang di RUU Cipta Kerja, seorang buruh dimungkinkan terus berada dalam posisi perjanjian kerja kontrak dan ini merugikan dari sisi mereka.

Alasan kedua adalah karena adanya perubahan upah minimum. Omnibus law mengamanatkan upah minimum ada di tingkat provinsi. Padahal selama ini, upah minimum provinsi adalah acuan terendah untuk upah minimum kabupaten/kota dan upah sektoral.

“Upah minimum kabupaten dan upah minimum sektoral pasti lebih tinggi dari upah minimum provinsi. Ada banyak disparitas upah, terutama di provinsi yang wilayahnya luas akan menimbulkan polemik. Bagaimana dengan upah minimum kabupaten yang sudah lebih tinggi dari provinsi,” kata Nabiyla.

BACA JUGA: Meski Wabah Corona, 50 Ribu Buruh Berencana Demo Tolak RUU Cipta Kerja

Kelemahan ketiga terkait alih daya atau outsourcing. Pemerintah akan menghapus aturan terkait alih daya ini, tetapi praktiknya masih dimungkinkan. Pasal ini sangat berbahaya, kata Nabiyla, karena membuat praktik outsourcing itu bisa dilakukan tanpa syarat apapun. Kekurangan keempat, kejelasan hak cuti dalam RUU Cipta Kerja, sehingga tidak ada kepastian misalnya bagi buruh laki-laki yang cuti menunggu istri melahirkan, cuti kematian keluarga, dan jenis-jenis cuti lain.

Perubahan besar juga terjadi terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menjadi kelemahan kelima. Sebelum ini, pemerintah mempersulit proses PHK dengan harapan itu menjadi jalan keluar terakhir. PHK hanya bisa diputuskan tiga pihak, yaitu pemerintah, perusahaan dan pekerja.

BACA JUGA: Akibat COVID-19, 1,7 Juta Pekerja Dirumahkan atau Terkena PHK

“Aturan PHK di Indonesia itu sulit karena tujuan awalnya adalah mencegah orang supaya tidak di PHK. Tetapi ke depan konsepnya berubah,” tambah Nabiyla.

Masalah keenam adalah soal aturan turunan dan pasal yang tidak implementatif. Nabiyla memberi contoh terkait jaminan sosial kehilangan pekerjaan. Pasal ini menjadi semacam pemanis dalam RUU Cipta Kerja. Seolah-oleh memberi angin segar bagi buruh yang kehilangan pekerjaan, tetapi ternyata tidak bisa diimplementasikan nantinya. Alasannya, karena tidak jelas siapa yang berhak memperoleh jaminan itu, dibayarkan oleh siapa, dan siapa yang menanggung dananya. [ns/ab]