Lebih dari 2,5 juta orang di dunia meninggal akibat Covid-19. Lebih dari 515 ribu kematian itu terjadi di Amerika. Sakit dan kematian mendadak akibat pandemi ini menyadarkan banyak orang akan pentingnya menulis surat wasiat dan surat warisan, disebut will. Namun, diperkirakan tidak sampai satu persen diaspora Indonesia di Amerika yang sudah menulis dokumen tersebut. Mereka beralasan tabu atau pamali.
Untuk mudahnya, will diterjemahkan sebagai surat wasiat dan surat warisan. Tetapi sebenarnya, menurut Hani White, lebih detail dari kedua surat peninggalan tersebut, yang umum dikenal masyarakat di Indonesia. Perencana keuangan di Philadelphia, Pennsylvania, itu kerap berbicara dengan komunitas Indonesia untuk menjelaskan tentang will.
Dia mengingatkan, bahwa tanpa will, “Banyak hal yang tidak bisa (dilakukan), yang sangat sulit, diatasi apabila orang tua kita meninggal. ...Nah, komunitas kita rata-rata, karena generasi pertama, mereka belum mengalami bapak dan ibunya meninggal di Amerika, maka banyak yang belum tahu (tentang will) ...Bank account (rekening bank) tidak bisa dibuka, mobilnya tidak bisa ditransfer kemana-mana, bahkan ada situasi di mana rumahnya diambil (oleh) pemerintah,” jelas Hani.
Hasil survei tentang estate planning yang dilakukan Caring.com pada tahun 2020 menunjukkan hanya 23 persen orang dewasa di Amerika yang sudah menulis will. Hani memperkirakan, tidak sampai satu persen orang Indonesia di Amerika yang menulis will.
“Banyak yang mengatakan, aduh, kalau saya menulis will, itu tandanya saya minta mati. Padahal, walaupun ada will, kalau memang umur kita panjang, ya tetap saja umurnya akan panjang. Orang Indonesia kenalnya gitu kan? Tidak boleh ngomong gitu, pamali. Di Amerika, segala sesuatu harus hitam di atas putih. Di mana ada tulisan, di situlah hukum bisa diaplikasikan,” imbuh Hani.
Di Houston, Texas, Ricko Wardhana sehari-hari membantu orang dalam strategi dan rencana keuangan, termasuk pembuatan will. Ia mengatakan, belum banyak orang yang menulis will karena masih ada yang berpendapat, kalau, "tragedi bisa terjadi ke orang lain. Tapi, tidak ke saya,” kata Ricko.
Selain itu, menurut Ricko dan Hani, secara umum pengetahuan imigran tentang will masih rendah dibandingkan dengan orang yang sudah turun temurun hidup di Amerika. Mereka enggan menulis karena…
“Orang tidak mau memikirkan hal yang buruk-buruk terjadi. Tapi, kita kan bukan Tuhan ya? Kita tidak bisa menentukan umur kita sendiri,” lanjut Ricko.
Menurut Ricko, banyak yang beranggapan will hanya diperlukan kalau orang itu akan meninggal. Padahal ada living will, yang memberi wewenang kepada orang yang dikuasakan untuk memberi keputusan soal keuangan dan tindakan medis. Misalnya, kalau orang itu koma, apa yang harus dilakukan tim medis?
Kembali ke hasil survei oleh Caring.com tentang will, hanya enam persen yang menulis living will, yang mengarahkan tim medis melakukan tindakan tertentu bila pasien dalam kondisi koma dan membutuhkan life support, misalnya.
BACA JUGA: Tak Tinggalkan Wasiat, Pembagian Warisan Maradona Bisa Picu SengketaSelama lebih dari 30 tahun, Syarief Rachmat menyaksikan sendiri betapa keluarga yang dalam situasi itu sangat bingung karena didesak untuk memberi keputusan segera. Mereka tidak siap dan tidak yakin apakah keputusan mereka akan disetujui oleh pasien, seandainya pasien mampu berkomunikasi.
“Kalau yang bersangkutan tidak punya will, yang menentukan life support jelas keluarga. Kadang-kadang, dari pengalaman, selalu kita diposisikan pada situasi yang jelas si pasien sudah koma atau tidak sadarkan diri sehingga tidak bisa ditanyakan langsung. Jadi, keluarga yang harus memutuskan. Ini menjadi dilema karena tidak semua orang bersedia diberi life support, yang intinya adalah menggantungkan hidup pada mesin.”
Hani dan Ricko sama-sama sudah menulis will. Menurut mereka, bukan harta benda dan bisnis yang mendorong keduanya menulis dokumen itu melainkan rasa sayang pada anak.
Ricko, bapak tiga anak, mengatakan, “Anak-anak itu kan sebenarnya juga harta yang lebih berharga dan mungkin itu terlupakan. Kalau misalnya kita tidak ada, kalau tidak ada will, kita menyerahkan (nasib anak-anak) itu ke court (pengadilan) untuk decide (memutuskan). Kita rela gak, (kalau sampai) begitu?.”
Pengasuhan anak di bawah umur yang ditinggal orang tua, yang tidak menulis will, akan diambil alih negara sampai ada keputusan yang berbeda. Anak-anak itu lalu diserahkan kepada orang yang bersedia mengasuh. Seringkali, kakak beradik tidak bisa bersatu, diberikan kepada keluarga yang berbeda
Your browser doesn’t support HTML5
Hani mengatakan ia tidak ingin itu terjadi pada kedua anaknya. “Kami tetap ingin anak kami mengerti asal muasal atau akar dari keluarga kami.”
Pandemi Covid-19 menyadarkan banyak orang akan pentingnya will namun, menurut Syarief, orang masih enggan membuatnya. Padahal, ia menekankan, will membantu orang yang sakit atau meninggal tenang karena tahu bahwa orang akan mengurusinya sesuai keinginannya.[ka/ab]