Sejarawan Islam Tiar Anwar Bachtiar menjelaskan bahwa ‘habib’ memang menjadi sebutan antropologis untuk orang-orang Hadramaut yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Husein bin Ali.
“Jadi Nabi itu kan punya cucu dua ya. (Nabi) punya anak Fatimah, Fatimah punya anak Hasan dan Husein. Dari Hasan dan Husein ini kan ada banyak keturunan nabi,” paparnya.
Tiar yang mengajar di Universitas Padjajaran Bandung ini mengatakan bahwa asal mula keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia diawali oleh migrasi keturunan cucu Husein dari kawasan Hadramaut di Yaman, bernama Alawi. Keturunan Nabi dari jalur Alawi ini di Indonesia disebut dengan Alawiyin.
“Biasanya keturunan Alawiyin inilah yang disebut sebagai ‘habib’. Habib itu sebenarnya hanyalah sebutan. Kalau sebutan atau gelar resminya adalah ‘Sayyid’, perempuannya adalah ‘Sayyidah’.”
Tiar menambahkan bahwa di Indonesia, utamanya keturunan dari Hadramaut ini, terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Alawiyin dan non-Alawiyin. Keturunan Arab non-Alawiyin di Indonesia, khususnya yang menyiarkan agama Islam mendapat sebutan ‘Syaikh’ / ‘Syekh’ atau ‘Syaikhah’ bagi yang perempuan.
Namun umumnya hanya Alawiyin yang dikenal sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.
Mengaku keturunan Nabi
Di Indonesia, keturunan Alawiyin membentuk sebuah organisasi yang salah satu tugasnya adalah pencatatan silsilah keturunan Nabi. Organisasi ini bernama Rabithah Alawiyah yang berdiri sejak 1928.
Masyarakat Arab umumnya secara tradisi sangat mementingkan silsilah keturunan keluarga atau yang biasa disebut nasab. Bahkan menurut Tiar, nasab sudah menjadi ilmu sendiri yang digunakan untuk menelusuri hadits-hadits Nabi Muhammad. Kelompok Alawiyin dalam hal ini turut memanfaatkan ilmu nasab untuk menelusuri dan mencatat keturunannya.
Ahmad Alatas, ketua pencatatan nasab Alawiyin Rabithah Alawiyah mengatakan pada 2014 organisasinya mencatat keturunan Alawiyin se-jabodetabek mencapai 14.500 jiwa.
“Jadi memang sangat dianjurkan setiap Alawi yang lahir didaftarkan di kantor lembaga kami,” ujar Ahmad saat diwawancara VOA.
Ahmad menjelaskan keturunan Alawi yang ingin mendaftar perlu mengisi formulir, menyertakan saksi, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan wajib menyebutkan silsilah hingga kakek ke-5.
“Umumnya di daerah Jawa, sampai kakek ke-5 itu masih terdaftar. Tapi kalau di daerah Sumatera seperti di Medan dan Aceh agak sulit,” paparnya.
Menurut Ahmad, tanpa KTP atau KK, permohonan pendaftaran bisa dibuktikan melalui penyerahan surat nikah, paspor, atau bentuk manuskrip lainnya yang bisa menunjukkan bukti nasabnya.
“Nanti kami periksa apakah silsilah ini tersambung dengan buku (induk) kami atau tidak. Kalau tidak ada sama sekali semua (buktinya) sampai tujuh turunan, maka kami tidak bisa membuatkan buku,” jelas Ahmad.
Setiap Alawiyin yang terdaftar di Rabithah Alawiyah menurut Ahmad, memiliki buku nasab yang berfungsi sebagai bukti identitas Alawiyin.
Cara lain mengenali Alawiyin yakni melalui marganya. Rabithah Alawiyah mencatat ada sekitar 68 marga yang merupakan keturunan Alawi yang tersebar ke seluruh nusantara. Marga-marga yang termasuk Alawiyin, antara lain Alatas, Assegaf, Shihab, Shahab, Alaydrus, Al-juffrie, Alhamid, dan Almuhdor.
Keturunan Nabi istimewa?
Keistimewaan posisi seseorang yang merupakan keturunan Nabi Muhammad, menurut Tiar, telah memunculkan friksi sejak lama.
“Banyak juga habib-habib yang keturunan rasul yang tidak disukai masyarakat,” ujar penulis buku “Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia” ini.
Namun kecenderungannya keturunan Nabi Muhammad yang mendalami agama mendapatkan tempat tersendiri di komunitas Islam tertentu.
“Makanya kalau di kalangan orang Betawi, terutama di Jakarta, kalau ada keturunan Nabi yang mendalami agama biasanya kecintaannya agak lebih. Makanya Habib Rizieq itu disenangi masyarakatnya.”
Lanjut Tiar, perbedaan pendapat mengenai perlakuan istimewa terhadap turunan Rasul bahkan terjadi di antara masyarakat keturunan Arab sendiri di Indonesia, bahkan sejak awal abad 20.
Friksi ini nampak di organisasi perkumpulan Arab di Indonesia, Jami’at Khair, yang berdiri pada 1901. Menurut Tiar, organisasi ini pecah akibat perbedaan pandangan soal persamaan derajat golongan sayyid dan non-sayyid. Friksi ini kemudian melahirkan organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah pada 1914.
Melansir dari laman web Al-Irsyad Al-Islamiyah, pendiri organisasi ini Syekh Ahmad Surkati asal Sudan, memutuskan keluar dari Jami’at Khair akibat perbedaan pandangan mengenai persamaan derajat.
“Sekalipun Jami’at Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jami’at Khair dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad tentang Kafaah (persamaan derajat).”. [rw/dw/ft]