Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare mengatakan, Jumat (1/4), pemerintahnya tidak akan mengizinkan pangkalan militer China dibangun di negaranya selama ia menjabat. Pernyataannya tersebut dikeluarkan sewaktu ia membela keputusan pemerintahnya untuk merealisasikan perjanjian keamanan yang selama ini tertunda dengan Beijing.
Sogavare berusaha menepis kekhawatiran bahwa kesepakatan itu akan memungkinkan China memiliki pangkalan militer di kawasan Pasifik Selatan. Ia menyebut klaim itu sebagai informasi keliru yang digembar-gemborkan pihak-pihak antipemerintah.
Jika menginginkan pangkalan militer di Pasifik, China “kemungkinan akan mendirikannya di Papua Nugini atau Fiji," katanya dalam sebuah pernyataan. Menurutnya, kedua negara itu termasuk di antara negara-negara Pasifik Selatan pertama yang menjalin hubungan bilateral dengan Beijing.
BACA JUGA: Australia, Selandia Baru Khawatir dengan Kesepakatan China dengan Solomon"Pemerintah sadar akan konsekuensi keamanan menjadi tuan rumah pangkalan militer, dan tidak akan gegabah membiarkan inisiatif semacam itu terjadi di bawah pengawasan kami," katanya.
Versi rancangan perjanjian tersebut, yang bocor pekan lalu, berisi langkah-langkah terperinci yang memungkinkan pengerahan kapal-kapal dan pasukan keamanan Tiongkok ke negara kepulauan Pasifik yang dilanda krisis itu. Rancangan perjanjian itu juga menyebutkan polisi bersenjata China bisa dikerahkan atas permintaan Kepulauan Solomon untuk menjaga "ketertiban sosial".
Berdasarkan rancangan itu pula, pasukan China akan diizinkan melindungi keselamatan personel China dan proyek-proyek besar negara itu di Kepulauan Solomon. Tanpa persetujuan tertulis dari pihak lain, keduanya tidak akan diizinkan mengungkapkan misi itu ke publik.
Pernyataan Sogavare tidak banyak membantu meredakan kekhawatiran di kalangan sekutu-sekutu Baratnya. Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton membandingkan invasi Rusia ke Ukraina dengan ambisi China di wilayah tersebut.
"Saya memahami dan menghormati perspektif Perdana Menteri Sogavare, tetapi saya pikir kita harus sangat berhati-hati di sini karena Tiongkok sangat agresif," kata Dutton kepada Sky News Australia.
Negara kepulauan berpenduduk 800.000 jiwa itu telah dilanda kerusuhan politik dan sosial, dan banyak dari penduduknya hidup dalam kemiskinan.
Pada bulan November, sejumlah pengunjuk rasa mencoba menyerbu parlemen dan mengamuk selama tiga hari. Mereka juga membakar sebagian besar kawasan Pecinan di Honiara. Kerusuhan itu dipicu oleh penentangan terhadap pemerintahan Sogavare, pengangguran dan persaingan antar pulau. Namun sentimen anti-China juga berperan.
Para pemimpin di Malaita, pulau terpadat di Solomon, dengan keras menentang keputusan Sogavare untuk mengakui Beijing dan memutuskan hubungan dengan Taiwan pada 2019. [ab/uh]