Para calon anggota legislatif (caleg) mulai mendaftarkan diri mereka, Senin (3/4), untuk pemilihan umum mendatang di Thailand, di mana Perdana Menteri Prayut Chan-O-Cha menghadapi persaingan keras melawan partai-partai oposisi yang bersumpah untuk merombak konstitusi kerajaan yang dibuat militer.
Mantan Panglima Angkatan Darat Prayut, yang berkuasa melalui kudeta pada 2014, menegaskan negara itu membutuhkan pemimpin berpengalaman saat ia menemani para calon anggota parlemen dari partainya, United Thai Nation.
Ia menghadapi tantangan sulit dari oposisi yang bangkit kembali yang dipimpin oleh Paetongtarn Shinawatra, putri miliarder mantan PM Thaksin Shinawatra.
Warga Thailand pergi ke tempat pemungutan suara pada 14 Mei untuk pemilihan pertama sejak kerajaan itu diguncang oleh protes besar yang dipimpin pemuda pada tahun 2020 yang menyerukan reformasi politik.
Prayut dan partainya tertinggal dalam jajak-jajak pendapat di belakang Pheu Thai pimpinan Paetongtarn dan Partai Bergerak Maju yang dipimpin oleh Pita Limjaroenrat.
Tetapi sementara partai-partai oposisi unggul dalam jajak pendapat, konstitusi 2017 yang ditulis junta Thailand memberikan keuntungan besar bagi partai-partai yang disukai militer dalam hal membentuk pemerintahan.
Untuk menjadi perdana menteri, seorang kandidat harus memenangkan mayoritas dari 500 anggota parlemen majelis rendah terpilih serta 250 senator yang ditunjuk militer.
Prayut (69), tiba dengan truk beratap terbuka bersama para pendukungnya dan caleg partainya dalam suasana meriah di sebuah gedung olahraga Bangkok. "Thailand membutuhkan orang yang tahu bagaimana menyelesaikan pekerjaan. Jika mereka belum pernah melakukannya, mereka tidak bisa melakukannya," kata Prayut kepada Thairath TV.
Pheu Thai mengatakan pihaknya menargetkan kemenangan telak dalam pemilihan untuk mencegah militer menghalangi jalannya menuju kekuasaan, seperti yang terjadi pada 2019 ketika memenangkan sebagian besar kursi tetapi disingkirkan dari pemerintahan.
Partai itu juga ingin mengadakan audiensi publik untuk memutuskan bagaimana mereformasi konstitusi. "Tidak mungkin negara ini bisa menjadi demokratis selama kita memiliki konstitusi yang tidak demokratis," kata Chusak Sirinin, wakil pemimpin Pheu Thai, pekan lalu.
Partai Bergerak Maju telah membuat janji serupa, dengan pemimpinnya, Pita Limjaroenrat, mengatakan ia akan mengadakan referendum untuk merombak konstitusi dalam waktu 100 hari setelah mengambil alih kekuasaan.
Di bawah Prayut, kerajaan telah berjuang untuk bangkit kembali dari dampak COVID-19 terhadap ekonomi.
Thailand adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara selain Myanmar yang dilanda kudeta, di mana PDB belum pulih ke tingkat prapandemi, menurut Bank Dunia. [ab/uh]