Ratusan pengunjuk rasa yang mengenakan masker gas dan kacamata pelindung menutup jalan-jalan di Tbilisi pada Selasa (14/5) setelah parlemen Georgia meloloskan undang-undang "pengaruh asing." Sejumlah kritikus menyebut undang-undang itu sebagai tiruan dari undang-undang agen asing Rusia, yang sangat diandalkan oleh Kremlin untuk menekan perbedaan pendapat.
Anggota-anggota parlemen dari Partai Impian Georgia (Georgian Dream Party) yang berkuasa menyetujui undang-undang tersebut meskipun terdapat peringatan dari Washington dan Brussels bahwa langkah seperti itu dapat mengancam kemitraan Georgia dengan pihak Barat.
Selama lebih dari satu bulan, puluhan ribu warga Georgia membanjiri jalan-jalan untuk memprotes undang-undang tersebut dalam unjuk rasa terbesar yang pernah terjadi di negara itu sejak meraih kemerdekaan dari Uni Soviet.
Salah seorang demonstran, Giorgi Iashvili, baru berusia 20 tahun ketika ia dipanggil sebagai tentara cadangan pada 2008 untuk bertempur dalam perang yang dilancarkan militer Rusia dan pasukan separatis yang didukung Moskow terhadap negaranya.
BACA JUGA: Uni Eropa Desak Georgia Tarik UU “Pengaruh Asing”Enam belas tahun kemudian, ia mendapati dirinya sekali lagi bersatu melawan upaya Rusia yang sedang berlangsung untuk menaklukkan negaranya, kali ini, katanya, dengan bantuan diam-diam dari pemerintah Georgia sendiri.
Sebagai seorang profesional keamanan siber muda, Iashvili sangat yakin bahwa pemberlakuan undang-undang agen asing secara tak terelakkan mendorong negaranya, yang seperlima wilayahnya telah diduduki oleh Rusia, lebih dalam lagi ke dalam orbit Rusia.
Menarget demokrasi
Undang-undang pengaruh asing di Georgia itu mewajibkan organisasi masyarakat sipil, media dan pihak lain yang menerima lebih dari 20% dana operasional mereka dari luar negeri untuk mendaftarkan diri sebagai agen kepentingan asing. Undang-undang tersebut terutama menarget program bantuan yang berasal dari Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk menegakkan dan/atau mempertahankan demokrasi.
Ketidakpuasan warga terhadap pemerintah perlahan-lahan mulai muncul. Pemerintahan Partai Impian Georgia, yang kini memasuki masa jabatan ketiga, dinilai telah dikendalikan oleh Bidzina Ivanishvili, seorang miliarder yang mengumpulkan kekayaannya di Rusia pada tahun 1990-an dan sejak saat itu secara strategis menunjuk sejumlah orang yang setia kepadanya untuk duduk di posisi-posisi strategis pemerintah.
Ivanishvili dan sebagian pejabat Partai Impian Georgia menolak tuduhan itu, termasuk soal bahwa mereka secara diam-diam berupaya mendukung upaya Rusia melemahkan demokrasi Georgia.
BACA JUGA: AS “Khawatir”, Puluhan Ribu Demonstran Turun Menentang RUU Agen Asing GeorgiaPemerintah telah sejak lama menjalankan kebijakan luar negeri dua arah, bekerjasama dengan mitra-mitra Barat untuk menenangkan warga yang sangat pro-Eropa, sekaligus menjaga hubungan dengan baik dengan Rusia dengan dalih untuk mencegah agar tidak terjadi konflik di kemudian hari. Pemerintah Georgia secara terbuka menyatakan bahwa mereka tengah menggerakkan Georgia ke arah Barat, tetapi sekaligus mengobarkan sentimen anti-Barat di dalam negeri.
Meskipun pemerintah Georgia mengizinkan sejumlah besar laki-laki Rusia yang melarikan diri dari wajib militer untuk memasuki negara itu, pemerintah Georgia menolak masuk anggota oposisi militer Rusia dan tidak bergabung dengan negara-negara Barat yang menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.
Para pemimpin Partai Impian Georgia menyalahkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy atas perang di Ukraina, yang mereka nilai telah membuat Georgia berselisih dengan Barat. Pihak berwenang Georgia telah secara terbuka mengecam mitra-mitra mereka di Ukraina dan berulangkali menuduh Ukraina dan para pendukungnya di Barat, berupaya melibatkan Georgia dalam konflik itu, dan menyebut mereka sebagai “global war party.” [em/jm]