Anggota parlemen Inggris, pada Rabu (21/2), menyerukan gencatan senjata dalam perang Israel-Hamas. Tetapi, seruan terjadi setelah puluhan orang keluar dari Majelis Rendah sebagai protes atas penanganan pemungutan suara tersebut.
Anggota parlemen telah memperdebatkan tiga resolusi terpisah terkait perang itu. Semuanya bersifat simbolis dan tidak mengikat pemerintah. Namun suasana menjadi kacau ketika para legislator dari Partai Konservatif yang berkuasa dan partai oposisi menuduh Ketua Parlemen Lindsay Hoyle melanggar prosedur parlemen.
Kekacauan terjadi ketika perdebatan mengenai mosi dari oposisi Partai Nasional Skotlandia, atau SNP, yang mendesak gencatan senjata segera, pembebasan semua sandera Israel yang ditahan Hamas, dan “diakhirinya hukuman kolektif terhadap rakyat Palestina.”
BACA JUGA: Warga Palestina Kisahkan Proses Evakuasi yang Mencekam dari Rumah Sakit GazaOposisi utama Partai Buruh, yang terpecah mengenai seberapa keras mereka mengkritik Israel, mengajukan versi perubahan dari mosi yang menyerukan “gencatan senjata kemanusiaan segera,” tanpa menyebutkan hukuman kolektif.
Partai Konservatif yang berkuasa mengajukan amandemen sendiri, mendukung “jeda kemanusiaan segera,” diikuti “langkah menuju gencatan senjata permanen yang berkelanjutan. Pemerintah mengatakan gencatan senjata hanya bisa terjadi jika Hamas membebaskan semua sandera Israel dan melepaskan kendali atas Gaza.
Ketika Hoyle mengizinkan pemungutan suara untuk ketiganya, anggota parlemen Konservatif sangat marah dan mengatakan bahwa hal itu bertentangan dengan konvensi Majelis Rendah. Beberapa orang menuduh Hoyle mendukung oposisi. Hoyle terpilih sebagai anggota parlemen dari Partai Buruh sebelum mengambil posisi netral sebagai ketua parlemen.
Kekacauan politik ini menunjukkan bahwa konflik tersebut telah memecah politisi dan masyarakat Inggris serta meningkatkan ketegangan. [ka/jm]