Parlemen Lebanon, Rabu (14/6) gagal dalam upaya lain untuk memilih presiden dan memecahkan kekosongan kekuasaan selama tujuh bulan yang mengguncang negara kecil di Laut Tengah itu.
Sesi yang merupakan upaya ke-12 untuk memilih presiden tersebut, dihentikan setelah sebuah kelompok legislator yang dipimpin oleh partai politik yang kuat dan kelompok militan Hizbullah mundur setelah pemungutan suara putaran pertama, sehingga melanggar kuorum.
Kandidat yang disukai Hizbullah, Sleiman Frangieh, keturunan keluarga politik yang dekat dengan keluarga Assad yang berkuasa di Suriah, tertinggal dari saingan utamanya, Jihad Azour, mantan menteri keuangan dan pejabat senior Dana Moneter Internasional, di putaran pertama pemungutan suara.
Azour, yang didukung oleh para oposisi Hizbullah, menerima 59 suara sementara Frangieh 51 suara. Delapan belas anggota parlemen memberikan suara kosong, suara protes atau memilih kandidat minoritas. Namun, Azour gagal mencapai mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan untuk menang di babak pertama.
Pertemuan itu terjadi setelah 11 sesi parlemen sebelumnya, yang terakhir diadakan pada Januari, gagal memilih pengganti Presiden Michel Aoun, sekutu Hizbullah, yang masa jabatannya berakhir pada akhir Oktober.
Di bawah perjanjian pembagian kekuasaan Lebanon yang rumit, presiden negara itu harus seorang Kristen Maronit, ketua parlemen seorang Muslim Syiah dan perdana menteri seorang Sunni.
Azour mendapat dukungan dari partai politik Kristen terbesar di negara itu, Gerakan Patriotik Bebas, yang telah bersekutu dengan Hizbullah sejak 2006, dan partai Pasukan Lebanon, yang beroposisi terhadap Hizbullah. Azour juga didukung oleh mayoritas legislator Druze dan beberapa Muslim Sunni, sedangkan para anggota parlemen Syiah sangat mendukung Frangieh.
Tugas presiden baru yang paling mendesak adalah mengeluarkan negara berpenduduk 6 juta orang ini, termasuk lebih dari 1 juta pengungsi Suriah, dari krisis ekonomi yang belum pernah terjadi yang dimulai pada Oktober 2019. Krisis itu berakar pada puluhan tahun korupsi dan salah urus oleh para petinggi politik negara tersebut yang telah memerintah Lebanon sejak perang saudara 1975-1990 berakhir.
Menyelesaikan kesepakatan dana dengan IMF, tempat Azour bekerja saat ini, dipandang sebagai kunci pemulihan Lebanon. Azour mengambil cuti dari jabatannya sebagai direktur regional organisasi itu setelah mengumumkan pencalonannya.
Para pendukung Azour menuduh Hizbullah dan sekutu-sekutunya menghalangi proses demokrasi. [ab/ka]