RUU itu diajukan Perdana Menteri Manuel Valls dari Partai Sosialis menyusul serangan teroris di Paris tahun lalu dan disetujui Majelis Rendah hari Rabu (10/2) dengan perbandingan suara 317 lawan 199.
RUU mengungkapkan adanya perpecahan yang mendalam dalam tubuh Partai Sosialis yang memerintah. Banyak yang bergaris kiri mengemukakan ketidaksukaan mereka terhadap RUU itu dan tidak mau memberi suara. Menteri Kehakiman Christian Taubira mengundurkan diri bulan lalu sebagai protes. Rancangan juga memecah golongan konservatif yang beroposisi.
RUU itu, yang dapat mengobah Konstitusi, masih jauh dari pasti disetujui. Masih harus melalui pemungutan suara di Majelis Tinggi dan akhirnya membutuhkan mayoritas 3/5 suara dari kedua Majelis.
Pemerintah menjelaskan, rancangan hanya akan mengenai jumlah amat kecil tetapi membawa nilai simbolis yang tinggi. Keputusan mancabut kewarganegaraan Perancis seseorang akan diputuskan oleh hakim dan berlaku bagi kejahatan yang terkait terorisme.
Berbagai kelompok hak asasi sudah mengingatkan rancangan itu punya risiko mendiskriminasikan penduduk yang berlatarbelakang pendatang dan minoritas kendati naskah RUU itu sendiri menyebut hanya mengenai orang yang berdwikewarganegaraan.
Dalam menjawab kritikan itu, pemerintahan Sosialis mencabut kata-kata dwikewarganegaraan dan meluaskannya mencakup semua warganegara Perancis. Ini berisiko membuat orang tanpa negara yang bertolak-belakang dengan kewajiban Perancis di bawah hukum internasional.
Satu langkah dalam RUU yang sama ialah memasukkan pasal undang-undang keadaan darurat ke dalam Konstitusi. Pasal ini dapat diberlakukan selama 12 hari pada kala terjadi ancaman teroris atau bencana alam dan dapat diperpanjang lewat pemungutan suara di Parlemen sebagaimana dalam undang-undang sekarang. [al]