Anggota parlemen Uni Eropa melakukan pemungutan suara, Selasa (23/4), untuk melarang produk yang dibuat dengan menggunakan tenaga kerja paksa. Para pendukung rencana ini berharap, larangan tersebut nantinya dapat digunakan untuk memblokir barang-barang dari China, dengan risiko meningkatkan ketegangan dengan negara itu.
UU ini tidak secara langsung menyebut China, tetapi banyak anggota parlemen berharap perangkat hukum ini dapat digunakan untuk memblokir impor dari China, terutama dari wilayah di mana minoritas muslim Uighur tinggal.
Kelompok HAM mengatakan setidaknya satu juta orang, kebanyakan anggota minoritas Muslim, telah ditahan di Xinjiang, wilayah China Barat Laut dan menghadapi serangkaian pelanggaran, termasuk pemaksaan sterilisasi bagi perempuan dan kerja paksa.
RUU ini, yang didukung dalam pemungutan suara oleh 555 anggota parlemen Uni Eropa, dengan enam menolak dan 45 abstain, akan menjadi UU setelah persetujuan akhir oleh 27 negara anggota Uni Eropa.
Uni Eropa telah mengerahkan sejumlah alat dagang melawan China, termasuk penyelidikan antisubsidi terhadap dukungan negara itu untuk teknologi hijau, seperti panel surya.
UU terbaru bertujuan untuk menghapus kerja paksa dari pasar Eropa.
Di bawah aturan ini, negara-negara Uni Eropa bisa menyingkirkan produk yang terbukti diproduksi menggunakan sistem kerja paksa. Begitu juga barang-barang yang dibuat di blok 27 negara tersebut, yang menggunakan bahan yang dibuat di luar negeri, melalui kerja paksa.
“Regulasi ini inovatif dan unik. Itu inklusif, luas dan terkait dengan berbagai aturan hukum lain dan direktif. Ini benar-benar regulasi yang menentukan,” kata anggota parlemen Belanda, Samira Rafaela, yang mendorong naskah RUU ini melalui parlemen.
“Perusahaan-perusahaan, industri, seluruh sektor dan kontraktor mereka masing-masing harus melakukan upaya yang serius untuk memastikan bahwa tindakan mereka berkelanjutan dan etis, menghormati HAM di seluruh rantai pasokan mereka,” tambah dia setelah pemungutan suara itu.
Sekitar 27,6 juta orang terlibat dalam kerja paksa pada 2021, termasuk sekitar 3,3 juta anak, menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO). [ns/uh]