Partai Berkuasa Kamboja Tak Hadapi Tantangan dalam Pemilu

Kem Reat Viseth (tengah), kepala komite pemerintah yang bertanggung jawab untuk pengawasan pemilu, berbicara dalam konferensi pers mengenai partisipasi para pengawas pemilu di Phnom Penh, Kamboja, 24 Juli 2018.

Warga Kamboja akan memberikan suara pada Minggu (29/7) untuk 125 kursi dalam Majelis Nasional negara itu. Banyak pihak memperkirakan, Partai Rakyat Kamboja pimpinan Perdana Menteri Hun Sen, akan tetap berkuasa. Partai itu telah memenangkan empat pemilu sebelumnya, yang diadakan setiap lima tahun.

Oposisi utama, Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP), memperselisihkan hasil pemilu 2013. CNRP menuduh partai yang berkuasa melakukan kecurangan dan menolak menempati 55 kursi parlemen yang dimenangkannya.

Boikot itu memicu protes luas terhadap pemerintah hingga mengakibatkan beberapa tindakan keras terhadap demonstran oleh pasukan keamanan, dan evakuasi alun-alun di Phnom Penh di mana protes dipusatkan.

Gerakan itu akhirnya berakhir Juli 2014, ketika partai oposisi bertemu pejabat pemerintah dan setuju memasuki parlemen.

Sejak itu, partai oposisi telah dibongkar. Kekebalan pemimpin oposisi Sam Rainsy sebagai anggota parlemen dilucuti pada 2015 atas tuduhan pencemaran nama baik. Ia dilarang kembali ke Kamboja atau mencalonkan diri dalam pemilu. Pada Februari 2017, Rainsy menyerahkan kepemimpinan kepada wakilnya, Kem Sokha.

Kem ditangkap pada September 2017 karena dicurigai merencanakan revolusi yang didukung Amerika di Kamboja. Dua bulan kemudian, Mahkamah Agung Kamboja membubarkan partai oposisi.

Sementara 20 partai diperkirakan maju dalam pemilu parlemen pada Minggu, CNRP dipandang sebagai satu-satunya ancaman serius bagi partai dan kepemimpinan Hun Sen. Pendukung oposisi mendesak pemilih agar memboikot pemilu.

PBB mengkritik pemilu itu dan menilainya secara mendasar cacat karena tindakan hukum terhadap CNRP dan pimpinannya. Amerika dan Uni Eropa menarik dana untuk pemilu itu.

Pemerintah Kamboja mengatakan sekitar 220 pemantau pemilu dari 52 negara akan siap mengawasi ketidakberesan dalam pemungutan suara pada Minggu. Tetapi kritikus mengatakan banyak dari kelompok pengamat memiliki hubungan dengan partai yang berkuasa. [ka]