Partai berkuasa Taiwan, Rabu (12/4), mencalonkan Wakil Presiden William Lai sebagai calonnya untuk pemilihan presiden tahun depan. Lai selama ini dikenal sebagai tokoh yang lebih blak-blakan tentang kemerdekaan Taiwan daripada presiden petahana, Tsai Ing-wen.
Pengumuman itu muncul dua hari setelah China secara resmi mengakhiri latihan perang besar-besaran di sekitar Taiwan, yang mencakup pengepungan pulau itu.
Pencalonan itu hampir pasti membuat marah China, yang secara terbuka membenci Lai karena pandangannya tentang kemerdekaan Taiwan.
"Saya sangat tersanjung telah menerima pencalonan DPP untuk ambil bagian dalam pemilihan presiden 2024 dan menjunjung tinggi tugas menjaga Taiwan," kata Lai pada konferensi pers Partai Progresif Demokratik (DPP).
BACA JUGA: Wapres William Lai Hadiri Pemakaman Abe, Taiwan Dikecam ChinaPria berusia 63 tahun itu telah lama dianggap sebagai calon terdepan dalam nominasi DPP untuk menggantikan Tsai, yang dilarang mencalonkan diri lagi setelah masa jabatan empat tahun keduanya berakhir pada Mei 2024.
Lai telah lama berpendapat bahwa Taiwan tidak dapat mencapai masa depan yang damai bila terus dipaksa menyenangkan China dan ia mendesak penduduk pulau itu untuk bersatu melawan otoritarianisme China.
Pada hari Rabu, ia menegaskan kembali sikap itu.
"Kini, blok demokrasi di komunitas internasional telah memperhatikan ancaman China terhadap komunitas internasional, dan peduli dengan pentingnya perdamaian di Selat Taiwan," kata Lai. "Kalian harus bersiap untuk perang guna menghindari perang, dan untuk menghentikan perang kalian harus bisa berperang."
China, yang mengklaim Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri sebagai bagian dari wilayahnya, telah meningkatkan tekanan militer, diplomatik, dan ekonomi terhadap Taiwan sejak terpilihnya Tsai pada tahun 2016 karena ia menganggap pulau itu sebagai negara berdaulat.
BACA JUGA: Presiden, Wapres dan PM Taiwan akan Donasikan Gaji untuk UkrainaLai memuji dua masa jabatan Tsai sebagai presiden, dan mengatakan bahwa dunia telah mengakui kredensial demokrasi Taiwan di bawah kepemimpinannya.
“Ke depannya, saya akan terus memperkuat demokrasi Taiwan di jalur demokrasi yang sama, sehingga dunia dapat melihat nilai Taiwan, dan merangkul Taiwan,” ujarnya.
Doktor lulusan Harvard yang berubah menjadi politisi itu sebelumnya menggambarkan dirinya sebagai "pejuang kemerdekaan Taiwan yang pragmatis".
Pada bulan Januari, ia menganggap pulau itu sudah menjadi "negara berdaulat sehingga Taiwan tidak perlu mendeklarasikan kemerdekaan lagi."
Beijing mengatakan setiap langkah Taiwan menuju deklarasi kemerdekaan formal akan memicu tanggapan militer. [ab/uh]