Meningkatnya proteksionisme dan konflik perdagangan dengan China menjadi keprihatinan utama sementara pasar Asia menunggu kejelasan kebijakan dari pemerintahan AS yang dipimpin oleh presiden terpilih Donald Trump.
Selama kampanye pemilihan umum, Trump menekankan kenaikan tarif bea masuk yang tinggi untuk barang-barang China dan menuduh Beijing sebagai "manipulator mata uang" guna mendukung ekspornya.
Para analis bisnis dan ekonom di Asia mengatakan setiap kebijakan proteksionisme perdagangan akan berdampak negatif pada perekonomian global.
Triphon Phumiwasana, mitra Hatton Capital Partners yang berbasis di Thailand mengatakan: "Yang paling saya khawatirkan tentang kebijakan Trump adalah program proteksionisme, terutama terhadap China. Setelah menghantam China kemudian lainnya, yang pada dasarnya adalah rantai pasokan ke China, pabrik dapat melambat dan seluruh rantai pasokan dapat melambat, itulah yang paling mengkhawatirkan."
Jika Trump memberlakukan kenaikan tarif yang tajam, ini akan mempengaruhi bukan hanya pekerja dan perusahaan AS, tetapi bisa juga memicu perang dagang, kata para analis.
Perang Perdagangan
Dalam sebuah editorial hari Senin (14/11), China Global Times menyebut ancaman tarif Trump kemungkinan besar hanya retorika kampanye. Tapi jika dia benar-benar memberlakukan kenaikan tarif, China akan mengambil pendekatan membalas, kata harian itu.
Menurut artikel opini itu, pesanan untuk Boeing akan diganti dengan Airbus, penjualan kendaraan dan iPhone AS di China akan mengalami kemunduran, impor kedelai dan jagung AS akan dihentikan. Harian itu juga menambahkan bahwa China juga bisa membatasi jumlah mahasiswa yang belajar di AS.
Ekspor AS ke China telah meningkat luar biasa selama masa jabatan Presiden Barack Obama. Tapi pada saat yang sama,defisit perdagangan antara kedua negara terus mencetak rekor baru, naik menjadi lebih dari US$365 miliar pada tahun 2015.
Analis mengatakan kebijakan "America First" yang mementingkan bisnis dalam negeri AS, juga dianggap menambah kecenderungan "isolasionisme" AS dan berdampak pada hubungan AS dengan Asia Tenggara.
Ancaman Trump untuk "menghukum" perusahaan Amerika yang mengirim lapangan kerja ke luar negeri tampaknya akan memiliki dampak keuangan yang besar di Filipina. Para pengamat mengatakan pendapatan sektor Business Outsource Process (pengalihdayaan sebagian proses bisnis kepada pihak ke tiga) setara dengan 10 persen jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) Filipina.
Capital Economics, analis pasar yang berbasis di London, dalam sebuah komentar, mengatakan penerapan tarif tinggi pada semua impor AS dari China "bisa menyebabkan kerusakan nyata bagi perekonomian China." Perekonomian regional lain yang menjadi pemasok utama untuk pasar China seperti Taiwan dan Malaysia, juga akan terimbas.
Analis Capital Economics mengatakan Trump kemungkinan akan memulai masa kepresidenannya dengan mencap China sebagai "manipulator mata uang," sehingga memicu pembicaraan antara departemen keuangan AS dan China mengenai kebijakan mata uang.
Proteksionisme dan Pertumbuhan
Daniel Bean, kepala riset valuta asing di ANZ Banking Group yang berbasis di Sydney, mengingatkan bahwa AS adalah mitra dagang utama bagi Asia, dan langkah proteksionisme dapat mempengaruhi pertumbuhan.
Bean juga prihatin atas kebijakan terhadap China.
"Komentar Trump mengenai kemungkinan China adalah manipulator mata uang dalam hari pertamanya menjabat tidak akan menciptakan iklim yang membantu," ujarnya.
Bean mengatakan Asia menghadapi ketidakpastian "setidaknya sampai pelantikan pada bulan Januari. Pasti akan ada banyak pertanyaan mengenai apakah pertumbuhan ekonomi AS saat ini "tampak wajar" dan perdagangan "masih bebas dan jelas."
Tapi Derek Scissors, seorang ekonom dan cendekiawan di American Enterprise Institute di Washington DC mengemukakan masih terlalu dini untuk mengatakan apakah pemerintahan Trump "akan lebih strategis tentang perdagangan atau sepenuhnya proteksionis."
Para ekonom mengatakan Trump cenderung berkompromi pada beberapa isu kebijakan, termasuk tarif barang dari China, dan negosiasi ulang kesepakatan perdagangan bebas dengan Korea Selatan.
Daniel Bean, pakar dari ANZ, senada dengan kalangan analis yang optimistis bahwa retorika kampanye Trump akan disesuaikan setelah dia menjabat sebagai presiden.
"Apa yang dikatakan pada masa kampanye dan kenyataan yang terjadi masih terbuka untuk dipertanyakan. Jadi, kita harus optimis, mudah-mudahan ketika realitas jabatan tiba, nada diplomasi agak berubah." [as/ab]