Kisah Filipina sebagai penghasil emas besar dan kompleksitas yang meliputinya, termasuk penyelundupan dan pasar gelap.
Erich Mulato melangkah dari bengkel yang kumuh di sebuah desa di pegunungan Diwata, Filipina, ke sebuah toko emas, menggenggam potongan logam hangat berkilauan yang baru dihaluskan dari bijih besi yang ia ambil.
Ayah enam anak berusia 53 tahun tersebut baru menyelesaikan giliran bekerja 24-jam di salah satu dari ratusan perusahaan penambang skala kecil di wilayah Filipina bagian selatan tersebut. Ia menjual 5,49 gram emas bagiannya hari itu dengan harga 8.260 peso (US$200). Jumlah itu lebih dari 16 kali lipat penghasilan buruh kasar di Manila.
“Mudah mencari uang di sini,” ujar Mulato seraya meniupkan asap rokok sambil menunggu uang dari toko emas. “Apa saja yang ingin kita beli, kita bisa membelinya. Mata pencarian lebih baik di sini.”
Baik untuk Mulato, tapi tidak untuk pemerintah Filipina.
Emas yang didapat Mulato akan sampai ke makelar dan turis di pasar gelap di Manila, bukannya tujuan yang seharusnya, yaitu bank sentral Bangko Sentral ng Pilipinas.
Sampai 90 persen produksi emas skala kecil Filipina diselundupkan ke negara Asia Tenggara, menurut perkiraan pemerintah dan pedagang, dan sebagian besar dibawa ke Tiongkok.
Potensi pendapatan yang hilang cukup besar. Filipina adalah penghasil emas ke-18 terbesar di dunia, memproduksi lebih dari 1 juta troy ons (satuan hitung logam berharga, 1 troy ons setara 31,103 gram), atau senilai $1,6 miliar pada harga saat ini. Sekitar 56 persen dari jumlah itu didapat dari penambang skala kecil, menurut data Biro Pertambangan.
Pejabat bank sentral memberitahu kantor berita Reuters bahwa pajak baru yang diberlakukan tahun lalu merupakan faktor kunci dalam peningkatan penyelundupan emas. Namun kepala dinas pendapatan mengatakan bahwa 7 persen pajak dari penjualan emas tidak akan kembali dan ia menyarankan kebijakan yang lebih baik untuk wilayah perbatasan.
Departemen Pajak memberitahu Reuters bahwa masalah ini sangat membuat kewalahan sehingga badan ini tidak bisa berbuat banyak melawan penyelundupan emas dan mineral lainnya dari kepulauan yang terdiri dari 7.100 pulau itu.
Penyelundupan ke Hong Kong
“Semua produksi pertambangan skala kecil, hampir semua, sekarang mengalir ke pasar gelap karena bebas pajak,” ujar Rex Banggawan, akuntan untuk koperasi pertambangan skala kecil yang berjual beli emas di Baguio, Filipina selatan. “Setelah itu, penyelundupan adalah sesuatu yang otomatis.”
Arthur Uy, yang membawahi Gunung Diwata sebagai gubernur provinsi Compostela Valley, provinsi penghasil emas terbanyak di Filipina, mengatakan bahwa pasar gelap untuk emas terutama ada di Manila.
“Sebagian besar emas diselundupkan ke Hong Kong sebagai pasar terbesar,” ujar Uy, yang keluarganya memiliki sebagian dari salah satu pertambangan skala kecil paling produktif di Diwata.
Baik Uy dan Banggawan memperkirakan 90 persen emas yang diproduksi oleh penambang skala kecil dibawa ke pasar gelap. Data resmi mendukung estimasi tersebut. Jumlah emas yang dijual oleh penambang skala kecil dan pedagang ke bank sentral pada kuartal kedua ini turun 98 persen dibanding tahun lalu. Menurut undang-undang, semua emas yang diproduksi penambang seperti Mulato di Filipina harus dijual ke bank sentral dengan harga pasar dunia.
Data pemerintah juga menunjukkan bahwa pembelian emas oleh bank sentral turun 4 persen, 76 persen dan 88 persen pada kuartal dua, tiga dan empat pada 2011. Pembelian jatuh 92 persen pada kuartal pertama.
Hasil penambangan emas skala kecil adalah sumber utama cadangan emas bank sentral, yang mencapai rekor tertinggi pada $10,4 miliar awal tahun ini.
Permasalahannya ini juga terjadi pada mineral lain, yang diselundupkan dari kepulauan yang berpori dan tidak memiliki cukup polisi di perbatasan ini. Filipina adalah salah satu negara Asia dengan kandungan mineral terkaya dengan cadangan emas, tembaga, nikel, kromit, mangan, perak dan besi seharga kurang lebih $1 triliun.
Investor asing banyak berdatangan dan ekonomi senilai $225 miliar tumbuh 6,4 persen, hanya tertinggal dari Tiongkok di antara negara-negara Asia lainnya. Namun investasi pertambangan terhambat karena berbagai alasan, termasuk moratorium proyek-proyek baru sampai Kongres mengesahkan peraturan yang telah lama tertunda mengenai pengaturan industri tersebut.
Hal ini membuat lahan mineral dikuasai penambang skala kecil, yang diatur oleh peraturan daerah dan seringkali berkolusi dengan pejabat lokal.
Rekor naiknya harga emas di seluruh dunia dalam dekade terakhir telah memunculkan pertambangan emas skala kecil, sebagian besar ilegal, di negara-negara berkembang seperti Filipina, Sierra Leone, Burkina Faso dan Mongolia. Banyak warga Tiongkok, yang merupakan konsumen emas terbesar di dunia, ditemukan terlibat dalam penambangan emas ilegal.
Statistik yang Membingungkan
Sebagian besar emas dari Filipina dikirim ke Hong Kong, yang mencapai 81.471 kilogram pada 2010. Jumlah ini jauh lebih besar dari impor sembilan tahun sebelumnya, yaitu 11 kilo, dan jumlahnya sekarang bertahan di 81.192 kilogram pada 2011.
Peraturan pajak di Hong Kong mengharuskan perdagangan emas terdaftar pada pemerintah, namun tidak ada pembatasan mengenai emas yang dibawa penumpang. Data statistik di Filipina menunjukkan bahwa ekspor emas ke Hong Kong pada 2010 dan 2011 hanya 3 persen dari volume total yang dicatat pihak berwenang di Hong Kong.
Tiongkok, yang memiliki kontrol ketat terhadap impor emas, tidak menerbitkan data perdagangan untuk logam, memperlakukannya sebagai rahasia negara.
Ekspor emas pada separuh tahun ini dari Hong Kong ke Tiongkok sendiri melesat enam kali lipat dibandingkan periode yang sama setahun lalu.
Kesulitan Menambang
Ada pajak atau tidak, permintaan akan emas dan harga yang tetap akan membuat penambang di Gunung Diwata terus memecah dinding batu untuk mengekstraksi bijih emas, beberapa diantaranya menggunakan dinamit.
Emas sulit ditemukan belakangan ini, dan bijihnya tidak mengalami kandungan yang kaya. Namun penghasilan yang didapat jauh lebih baik dari dulu, ujar para penambang.
“Pada 1980an, satu kantung bijih emas dapat menghasilkan 5 sampai 10 gram emas, namun harganya hanya 160 peso ($3,82) per gram,” ujar George Cantilla, pengawas penambang bawah tanah berusia 51 tahun yang telah bekerja di pertambangan sejak lulus kuliah.
“Sekarang kami hanya bisa mendapat 0,2 gram per kantung, tapi harganya saat ini jauh lebih tinggi.” (Reuters/Rosemarie Francisco)
Ayah enam anak berusia 53 tahun tersebut baru menyelesaikan giliran bekerja 24-jam di salah satu dari ratusan perusahaan penambang skala kecil di wilayah Filipina bagian selatan tersebut. Ia menjual 5,49 gram emas bagiannya hari itu dengan harga 8.260 peso (US$200). Jumlah itu lebih dari 16 kali lipat penghasilan buruh kasar di Manila.
“Mudah mencari uang di sini,” ujar Mulato seraya meniupkan asap rokok sambil menunggu uang dari toko emas. “Apa saja yang ingin kita beli, kita bisa membelinya. Mata pencarian lebih baik di sini.”
Baik untuk Mulato, tapi tidak untuk pemerintah Filipina.
Emas yang didapat Mulato akan sampai ke makelar dan turis di pasar gelap di Manila, bukannya tujuan yang seharusnya, yaitu bank sentral Bangko Sentral ng Pilipinas.
Sampai 90 persen produksi emas skala kecil Filipina diselundupkan ke negara Asia Tenggara, menurut perkiraan pemerintah dan pedagang, dan sebagian besar dibawa ke Tiongkok.
Potensi pendapatan yang hilang cukup besar. Filipina adalah penghasil emas ke-18 terbesar di dunia, memproduksi lebih dari 1 juta troy ons (satuan hitung logam berharga, 1 troy ons setara 31,103 gram), atau senilai $1,6 miliar pada harga saat ini. Sekitar 56 persen dari jumlah itu didapat dari penambang skala kecil, menurut data Biro Pertambangan.
Pejabat bank sentral memberitahu kantor berita Reuters bahwa pajak baru yang diberlakukan tahun lalu merupakan faktor kunci dalam peningkatan penyelundupan emas. Namun kepala dinas pendapatan mengatakan bahwa 7 persen pajak dari penjualan emas tidak akan kembali dan ia menyarankan kebijakan yang lebih baik untuk wilayah perbatasan.
Departemen Pajak memberitahu Reuters bahwa masalah ini sangat membuat kewalahan sehingga badan ini tidak bisa berbuat banyak melawan penyelundupan emas dan mineral lainnya dari kepulauan yang terdiri dari 7.100 pulau itu.
Penyelundupan ke Hong Kong
“Semua produksi pertambangan skala kecil, hampir semua, sekarang mengalir ke pasar gelap karena bebas pajak,” ujar Rex Banggawan, akuntan untuk koperasi pertambangan skala kecil yang berjual beli emas di Baguio, Filipina selatan. “Setelah itu, penyelundupan adalah sesuatu yang otomatis.”
Arthur Uy, yang membawahi Gunung Diwata sebagai gubernur provinsi Compostela Valley, provinsi penghasil emas terbanyak di Filipina, mengatakan bahwa pasar gelap untuk emas terutama ada di Manila.
“Sebagian besar emas diselundupkan ke Hong Kong sebagai pasar terbesar,” ujar Uy, yang keluarganya memiliki sebagian dari salah satu pertambangan skala kecil paling produktif di Diwata.
Baik Uy dan Banggawan memperkirakan 90 persen emas yang diproduksi oleh penambang skala kecil dibawa ke pasar gelap. Data resmi mendukung estimasi tersebut. Jumlah emas yang dijual oleh penambang skala kecil dan pedagang ke bank sentral pada kuartal kedua ini turun 98 persen dibanding tahun lalu. Menurut undang-undang, semua emas yang diproduksi penambang seperti Mulato di Filipina harus dijual ke bank sentral dengan harga pasar dunia.
Data pemerintah juga menunjukkan bahwa pembelian emas oleh bank sentral turun 4 persen, 76 persen dan 88 persen pada kuartal dua, tiga dan empat pada 2011. Pembelian jatuh 92 persen pada kuartal pertama.
Permasalahannya ini juga terjadi pada mineral lain, yang diselundupkan dari kepulauan yang berpori dan tidak memiliki cukup polisi di perbatasan ini. Filipina adalah salah satu negara Asia dengan kandungan mineral terkaya dengan cadangan emas, tembaga, nikel, kromit, mangan, perak dan besi seharga kurang lebih $1 triliun.
Investor asing banyak berdatangan dan ekonomi senilai $225 miliar tumbuh 6,4 persen, hanya tertinggal dari Tiongkok di antara negara-negara Asia lainnya. Namun investasi pertambangan terhambat karena berbagai alasan, termasuk moratorium proyek-proyek baru sampai Kongres mengesahkan peraturan yang telah lama tertunda mengenai pengaturan industri tersebut.
Hal ini membuat lahan mineral dikuasai penambang skala kecil, yang diatur oleh peraturan daerah dan seringkali berkolusi dengan pejabat lokal.
Rekor naiknya harga emas di seluruh dunia dalam dekade terakhir telah memunculkan pertambangan emas skala kecil, sebagian besar ilegal, di negara-negara berkembang seperti Filipina, Sierra Leone, Burkina Faso dan Mongolia. Banyak warga Tiongkok, yang merupakan konsumen emas terbesar di dunia, ditemukan terlibat dalam penambangan emas ilegal.
Statistik yang Membingungkan
Sebagian besar emas dari Filipina dikirim ke Hong Kong, yang mencapai 81.471 kilogram pada 2010. Jumlah ini jauh lebih besar dari impor sembilan tahun sebelumnya, yaitu 11 kilo, dan jumlahnya sekarang bertahan di 81.192 kilogram pada 2011.
Peraturan pajak di Hong Kong mengharuskan perdagangan emas terdaftar pada pemerintah, namun tidak ada pembatasan mengenai emas yang dibawa penumpang. Data statistik di Filipina menunjukkan bahwa ekspor emas ke Hong Kong pada 2010 dan 2011 hanya 3 persen dari volume total yang dicatat pihak berwenang di Hong Kong.
Tiongkok, yang memiliki kontrol ketat terhadap impor emas, tidak menerbitkan data perdagangan untuk logam, memperlakukannya sebagai rahasia negara.
Ekspor emas pada separuh tahun ini dari Hong Kong ke Tiongkok sendiri melesat enam kali lipat dibandingkan periode yang sama setahun lalu.
Kesulitan Menambang
Ada pajak atau tidak, permintaan akan emas dan harga yang tetap akan membuat penambang di Gunung Diwata terus memecah dinding batu untuk mengekstraksi bijih emas, beberapa diantaranya menggunakan dinamit.
Emas sulit ditemukan belakangan ini, dan bijihnya tidak mengalami kandungan yang kaya. Namun penghasilan yang didapat jauh lebih baik dari dulu, ujar para penambang.
“Pada 1980an, satu kantung bijih emas dapat menghasilkan 5 sampai 10 gram emas, namun harganya hanya 160 peso ($3,82) per gram,” ujar George Cantilla, pengawas penambang bawah tanah berusia 51 tahun yang telah bekerja di pertambangan sejak lulus kuliah.
“Sekarang kami hanya bisa mendapat 0,2 gram per kantung, tapi harganya saat ini jauh lebih tinggi.” (Reuters/Rosemarie Francisco)