Senegal pada hari Rabu (2/8) menangguhkan TikTok, dengan alasan platform berbagi video itu telah digunakan untuk memicu kekerasan terkait penahanan tokoh oposisi Ousmane Sonko.
Pihak berwenang telah lebih dulu memutus akses data seluler pada hari Senin (31/7), yang dikecam oleh beberapa kelompok HAM; serta membubarkan partai pimpinan Sonko.
“Aplikasi TikTok adalah jejaring sosial pilihan untuk orang-orang yang berniat jahat, untuk menyebarkan ujaran kebencian dan subversive yang mengancam stabilitas negara,” ungkap Menteri Komunikasi dan Ekonomi Digital Senegal, Moussa Bocar Thiam, dalam sebuah pernyataan.
Kerusuhan meletus setelah Sonko pada hari Senin didakwa mengobarkan pemberontakan, merongrong keamanan negara, menjalin hubungan kriminal dengan suatu organisasi teroris, dan beberapa tindak pidana lainnya.
Sedikitnya tiga orang tewas dalam kerusuhan itu, sementara dua lainnya tewas pada hari Selasa (1/8) dalam serangan bom molotov di sebuah bus di pinggiran Ibu Kota Dakar.
Tidak ada keterkaitan yang jelas antara serangan bom molotov itu dengan aksi-aksi demonstrasi yang muncul.
Tiga bus yang sedang diparkir di Kota Thies juga dilempari bom molotov pada hari Rabu, meski tidak ada laporan jatuhnya korban.
BACA JUGA: Pengadilan Perintahkan Pembebasan Kritikus Pemerintah SenegalHuman Rights Watch Selasa malam mengatakan, “Keputusan pemerintah untuk membubarkan PASTEF melanggar kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul dengan damai dan berpartisipasi dalam demokrasi.”
Lembaga nirlaba itu menyerukan pihak berwenang untuk memulihkan partai yang dibubarkan dan memulihkan akses internet.
Sementara Federasi HAM Internasional (FDIH) dalam sebuah pernyataan hari Rabu mengatakan “pembubaran suatu partai politik merupakan tindakan yang sangat serius, yang seharusnya diambil sebagai langkah terakhir… sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak dasar.”
Amnesty International juga mengecam kebijakan pembatasan internet.
Menurut pengacaranya, Sonko, yang telah divonis bersalah dalam dua kasus lainnya, dapat terancam hukuman penjara antara lima hingga dua puluh tahun dalam dakwaan-dakwaan yang baru, menurut pengacaranya.
Sidang putusan in absentia yang memvonisnya dengan hukuman penjara dua tahun dalam sebuah kasus korupsi moral bulan Juni lalu memicu bentrokan fatal yang menewaskan sedikitnya 16 orang. [rd/em]