Para ahli kanker anak menghadapi tantangan untuk mempertinggi tingkat kesembuhan pasien kanker anak di negara-negara berkembang yang saat ini baru mencapai 20 persen.
Para ahli kanker anak dari 29 negara di Asia serta sejumlah Negara di Eropa dan Afrika baru saja mengakhiri Konggres Internasional di Yogyakarta (24/4).
Ketua Ikatan Ahli Kanker Anak Internasional Dokter Gabriella Calaminus asal Argentina mengatakan kepada VOA, secara kumulatif, rata-rata tingkat kesembuhan kanker anak di Negara berkembang baru mencapai 20 persen. Sementara, di negara maju, angka kesembuhan mencapai 80 persen.
Menurut Gabriella, harus ada upaya yang dilakukan untuk meningkatkan tingkat kesembuhan kanker anak, diantaranya dengan memastikan tersedianya obat esensial untuk pengobatan kanker di semua negara.
"Harus dipastikan tersedianya obat esensial. Ada sejumlah obat esensial untuk kanker anak, dan dua tahun lalu WHO mengeluarkan daftar obat-obat tersebut. Menurut saya, obat-obat itu harus tersedia di semua negara berkembang," kata Gabriella.
Di Indonesia, Wakil Menteri Kesehatan Profesor Ali Ghufron Mukti mengatakan tingkat kematian anak akibat kanker mencapai 10 persen. Dan, sekitar 60 persen dari total biaya kesehatan dari pemerintah maupun swasta sebesar 70 triliun rupiah terserap untuk pengobatan penyakit tidak menular termasuk kanker.
Untuk masyarakat miskin, biaya pengobatan kanker bisa dipenuhi dengan Jamkesnas (Jaminan Kesehatan Nasional) yg saat ini bisa diakses oleh 76,4 juta penduduk Indonesia. “Dari sekitar sepuluh persen kematian pada anak-anak itu terkait dengan kanker, jadi cukup besar. Dan diantara kanker pada anak ini Leukemia (kanker darah) dan Retino blastoma (kanker mata) cukup signifikan”, ungkap Profesor Ali Gufron Mukti.
Di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, pusat kanker anak Bangsal Estella telah berhasil mencapai tingkat kesembuhan kanker anak hingga mendekati 80 persen. Profesor Sutaryo dari bangsal Estella mengatakan, untuk jenis Leukemia AML (Acute Myloblastic Leukemia) bisa disembuhkan dalam jangka 14 minggu, padahal di negara lain membutuhkan waktu 2 tahun. Protokol pengobatan yang dikembangkan diberi nama Wijayakusuma.
“Kita mempunyai pusat kanker anak di Sardjito yang dikenal di dunia. Ternyata dengan kemampuan negara berkembangpun kita bisa merawat dan menyembuhkan kanker anak. Kita memiliki manajemen terbaru, susunan obat yang dibuat di Indonesia khusus untuk orang Indonesia, namanya protocol Wijayakusuma”, demikian keterangan profesor Sutaryo.
Sementara itu, delegasi dari Afrika Selatan Profesor Mariana Kruger mengatakan, di negaranya kanker belum mendapat cukup perhatian karena penyebab kematian anak masih didominasi oleh HIV-AIDS dan tuberculosis. Sehingga sekitar 50 persen anak penderita kanker terlambat dideteksi.
"Dua masalah yang umumnya dihadapi penderita kanker anak adalah kemiskinan dan diagnose yang terlambat akibat terbatasnya sarana perawatan medis untuk mendeteksi kanker pada anak," demikian kata Mariana Kruger.
Bersamaan dengan konggres ahli kanker anak, juga diselenggarakan pertemuan perkumpulan orangtua penderita kanker dan mereka yang telah sembuh dari kanker (survivors).
Ketua Ikatan Ahli Kanker Anak Internasional Dokter Gabriella Calaminus asal Argentina mengatakan kepada VOA, secara kumulatif, rata-rata tingkat kesembuhan kanker anak di Negara berkembang baru mencapai 20 persen. Sementara, di negara maju, angka kesembuhan mencapai 80 persen.
Menurut Gabriella, harus ada upaya yang dilakukan untuk meningkatkan tingkat kesembuhan kanker anak, diantaranya dengan memastikan tersedianya obat esensial untuk pengobatan kanker di semua negara.
"Harus dipastikan tersedianya obat esensial. Ada sejumlah obat esensial untuk kanker anak, dan dua tahun lalu WHO mengeluarkan daftar obat-obat tersebut. Menurut saya, obat-obat itu harus tersedia di semua negara berkembang," kata Gabriella.
Di Indonesia, Wakil Menteri Kesehatan Profesor Ali Ghufron Mukti mengatakan tingkat kematian anak akibat kanker mencapai 10 persen. Dan, sekitar 60 persen dari total biaya kesehatan dari pemerintah maupun swasta sebesar 70 triliun rupiah terserap untuk pengobatan penyakit tidak menular termasuk kanker.
Untuk masyarakat miskin, biaya pengobatan kanker bisa dipenuhi dengan Jamkesnas (Jaminan Kesehatan Nasional) yg saat ini bisa diakses oleh 76,4 juta penduduk Indonesia. “Dari sekitar sepuluh persen kematian pada anak-anak itu terkait dengan kanker, jadi cukup besar. Dan diantara kanker pada anak ini Leukemia (kanker darah) dan Retino blastoma (kanker mata) cukup signifikan”, ungkap Profesor Ali Gufron Mukti.
Di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, pusat kanker anak Bangsal Estella telah berhasil mencapai tingkat kesembuhan kanker anak hingga mendekati 80 persen. Profesor Sutaryo dari bangsal Estella mengatakan, untuk jenis Leukemia AML (Acute Myloblastic Leukemia) bisa disembuhkan dalam jangka 14 minggu, padahal di negara lain membutuhkan waktu 2 tahun. Protokol pengobatan yang dikembangkan diberi nama Wijayakusuma.
“Kita mempunyai pusat kanker anak di Sardjito yang dikenal di dunia. Ternyata dengan kemampuan negara berkembangpun kita bisa merawat dan menyembuhkan kanker anak. Kita memiliki manajemen terbaru, susunan obat yang dibuat di Indonesia khusus untuk orang Indonesia, namanya protocol Wijayakusuma”, demikian keterangan profesor Sutaryo.
Sementara itu, delegasi dari Afrika Selatan Profesor Mariana Kruger mengatakan, di negaranya kanker belum mendapat cukup perhatian karena penyebab kematian anak masih didominasi oleh HIV-AIDS dan tuberculosis. Sehingga sekitar 50 persen anak penderita kanker terlambat dideteksi.
"Dua masalah yang umumnya dihadapi penderita kanker anak adalah kemiskinan dan diagnose yang terlambat akibat terbatasnya sarana perawatan medis untuk mendeteksi kanker pada anak," demikian kata Mariana Kruger.
Bersamaan dengan konggres ahli kanker anak, juga diselenggarakan pertemuan perkumpulan orangtua penderita kanker dan mereka yang telah sembuh dari kanker (survivors).