Pasukan yang setia kepada pemimpin Libya Moammar Gaddafi menyerang dengan bom kedudukan pemberontak yang mempertahankan satu kota strategis untuk hari kedua berturut-turut.
Pertempuran berat terus berlanjut, Selasa, untuk memperebutkan Ras Lanuf, sebuah kota tempat penyulingan minyak yang besar di Libya. Sehari sebelumnya, laskar anti-Gadhafi mundur ke kota pantai ini dari kota di dekatnya Bin Jawad, setelah serangan balasan pemerintah yang bertubi-tubi ingin menghentikan gerakan maju pemberontak menuju ibukota Tripoli.
Wartawan asing mengatakan, sebuah pesawat tempur membom rumah dua tingkat di Ras Lanuf, merusakkan lantai dasar. Belum segera ada laporan mengenai korban jiwa. Serangan udara Selasadilakukan setelah serangan serupa pada hari sebelumnya.
Pertempuran ini, menurut laporan, telah menghentikan operasi minyak di Ras Lanuf dan pelabuhan minyak Brega di dekatnya, yang sudah bekerja pada kapasitas minimum.
Ke arah barat, kota terkepung Zawiyah yang dikuasai pemberontak menghadapi serangan maut untuk hari keempat. Telepon, pelayanan listrik dan internet kabarnya telah dipotong, tetapi seorang juru bicara oposisi yang dihubungi melalui telepon satelit mengatakan pasukan anti-Gaddafi masih mempertahankan kekuasaan.
Sementara itu, Selasa, pemberontak yang bertempur untuk menggulingkan Gadhafi mengatakan, wakil pemimpin Gadhafi menawarkan untuk mengadakan pembicaraan dengan pimpinan pemberontak, tetapi ditolak.
Juru bicara pemberontak mengatakan, Selasa, memang tawaran telah diajukan, tetapi dikatakan pemberontak tidak akan berunding dengan Gadhafi. Laporan media mengatakan, pemerintah Libya menyangkal telah mengulurkan tangan kepada pemberontak.
Dalam perkembangan lain, Senin, mantan Perdana Menteri Libya Jadallah Azous Al-Talhi tampil di televisi pemerintah dan mengundang para tokoh oposisi yang berpangkalan di Benghazi untuk melakukan dialog nasional. Talhi, yang pernah bekerja sebagai duta besar Libya untuk PBB pada tahun 2008, meminta kepada pemberontak agar memberi kesempatan bagi perundingan untuk menyelesaikan krisis ini, membantu menghentikan pertumpahan darah dan tidak membiarkan orang asing merebut Libya kembali.
Para anggota dewan pemerintah yang dipimpin pemberontak di Benghazi menolak undangan tersebut, dengan mengatakan tidak mungkin ada pembicaraan damai kecuali bila Gaddafi mengundurkan diri.