Pasukan yang setia kepada mantan Jenderal Libya telah membubarkan parlemen interim di sana setelah pertempuran beberapa hari melawan milisi Islamis di Tripoli dan Benghazi.
Pemerintahan interim Libya telah mengecam Jenderal Khalifa Haftar, sementara pendukungnya mengatakan baik parlemen dan pemerintah sama-sama tidak sah lagi.
Setelah terjadi tembak menembak sporadis antara unit-unit tentara Libya yang setia kepada mantan Kepala Staf Angkatan Darat Khalifa Haftar dan milisi Islamis, suasana pada Senin tenang tetapi diliputi ketegangan. Masing-masing pihak mengklaim mendapat dukungan rakyat Libya dan menuntut pihak yang lain untuk mundur.
Kepala polisi militer Libya, Kolonel Moqtar Farnana, yang mendukung Haftar, menyerukan struktur pemerintahan interim baru di Libya, lewat pernyataan yang dibacakan di TV milik pemerintah Libya:
Dia mengatakan bahwa aktivitas Dewan Nasional Umum harus dibekukan dan bahwa pemerintahan interim baru harus dibentuk. Dia menyerukan penunjukkan sebuah komite beranggotakan 60 laki-laki bijaksana untuk mengawasi pemerintah dan mempersiapkan pemilu baru.
Mandat yang sah bagi parlemen Libya sudah habis beberapa bulan lalu dan penjabat Perdana Menteri Abdallah Thani mengundurkan diri beberapa pekan lalu. Penerus Thani, pebisnis Ahmed Maitiq, yang didukung partai-partai Islamis termasuk Ikhwanul Muslimin, tidak mampu membentuk pemerintahan dan pihak oposisi menentang keabsahannya.
Berbicara lewat TV milik pemerintah Libya, penjabat sementara Menteri Kehakiman Salah al Marghani menyesalkan kekerasan itu dan menegaskan agar semua pihak yang bertikai menghentikan penggunaan kekerasan.
Dia mengatakan pemerintah mengecam semua pihak yang berusaha mengungkapkan pandangan politik mereka dengan kekuatan senjata, dan menyerukan dihentikannya penggunaan pasokan senjata militer Libya. Dia juga menyesalkan tewasnya dua orang dalam pertempuran hari Minggu.
Kelompok militan Ansar al Shariah, yang menentang Jenderal Haftar, bersikeras dalam sebuah video yang diposting di situsnya bahwa jenderal itu telah "terlibat dalam pertempuran yang tidak dapat dimenangkannya." Ansar al Shariah, kelompok yang paling kuat di Libya timur, telah menyatakan sumpah setia kepada pemimpin al-Qaida Ayman al-Zawarhiri.
Seorang juru bicara Haftar, Kolonel Mohammed Hijazi, mengecam Ansar al Shariah dan milisi "Pusat Komando Revolusioner" yang bermarkas di Tripoli, katanya kedua kelompok Islamis itu pada akhirnya akan "menghancurkan negara" karena "keduanya tidak pernah sepakat satu sama lain."
Khawatir akan ada ancaman pertempuran yang lebih banyak, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi menutup kedutaan mereka di Tripoli. Turki menutup konsulatnya di Benghazi dan mengevakuasi karyawannya ke bandara setempat. Aljazair menarik duta besarnya pekan lalu.
Setelah terjadi tembak menembak sporadis antara unit-unit tentara Libya yang setia kepada mantan Kepala Staf Angkatan Darat Khalifa Haftar dan milisi Islamis, suasana pada Senin tenang tetapi diliputi ketegangan. Masing-masing pihak mengklaim mendapat dukungan rakyat Libya dan menuntut pihak yang lain untuk mundur.
Kepala polisi militer Libya, Kolonel Moqtar Farnana, yang mendukung Haftar, menyerukan struktur pemerintahan interim baru di Libya, lewat pernyataan yang dibacakan di TV milik pemerintah Libya:
Dia mengatakan bahwa aktivitas Dewan Nasional Umum harus dibekukan dan bahwa pemerintahan interim baru harus dibentuk. Dia menyerukan penunjukkan sebuah komite beranggotakan 60 laki-laki bijaksana untuk mengawasi pemerintah dan mempersiapkan pemilu baru.
Mandat yang sah bagi parlemen Libya sudah habis beberapa bulan lalu dan penjabat Perdana Menteri Abdallah Thani mengundurkan diri beberapa pekan lalu. Penerus Thani, pebisnis Ahmed Maitiq, yang didukung partai-partai Islamis termasuk Ikhwanul Muslimin, tidak mampu membentuk pemerintahan dan pihak oposisi menentang keabsahannya.
Berbicara lewat TV milik pemerintah Libya, penjabat sementara Menteri Kehakiman Salah al Marghani menyesalkan kekerasan itu dan menegaskan agar semua pihak yang bertikai menghentikan penggunaan kekerasan.
Dia mengatakan pemerintah mengecam semua pihak yang berusaha mengungkapkan pandangan politik mereka dengan kekuatan senjata, dan menyerukan dihentikannya penggunaan pasokan senjata militer Libya. Dia juga menyesalkan tewasnya dua orang dalam pertempuran hari Minggu.
Kelompok militan Ansar al Shariah, yang menentang Jenderal Haftar, bersikeras dalam sebuah video yang diposting di situsnya bahwa jenderal itu telah "terlibat dalam pertempuran yang tidak dapat dimenangkannya." Ansar al Shariah, kelompok yang paling kuat di Libya timur, telah menyatakan sumpah setia kepada pemimpin al-Qaida Ayman al-Zawarhiri.
Seorang juru bicara Haftar, Kolonel Mohammed Hijazi, mengecam Ansar al Shariah dan milisi "Pusat Komando Revolusioner" yang bermarkas di Tripoli, katanya kedua kelompok Islamis itu pada akhirnya akan "menghancurkan negara" karena "keduanya tidak pernah sepakat satu sama lain."
Khawatir akan ada ancaman pertempuran yang lebih banyak, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi menutup kedutaan mereka di Tripoli. Turki menutup konsulatnya di Benghazi dan mengevakuasi karyawannya ke bandara setempat. Aljazair menarik duta besarnya pekan lalu.