Amerika Serikat memulai program latihan gabungan kontraterorisme tahunannya dengan pasukan Afrika di Ghana pada Rabu (1/3). Latihan itu ditujukan untuk memperkuat pertahanan di perbatasan dalam perang melawan pemberontak ekstremis yang menyebar ke selatan, ke wilayah baru.
Program yang dikenal dengan nama Flintlock itu dimulai di markas militer kota Daboya, di mana para pelatih asal AS dan Eropa melatih tentara dari seluruh Afrika tentang pertolongan pertama dan latihan menembak di tengah panas terik.
“Flintlock ditujukan untuk memperkuat kemampuan negara-negara mitra penting di kawasan untuk melawan organisasi ekstremis yang sarat kekerasan, berkolaborasi lintas batas, dan memberikan keamanan bagi masyarakat,” kata Komando AS di Afrika dalam sebuah pernyataan.
Latihan itu dilakukan pada saat kritis bagi Afrika Barat, di mana kelompok-kelompok yang terkait dengan ISIS dan Al-Qaida terus melakukan serangan secara rutin terhadap warga sipil dan militer, meskipun sudah ada intervensi mahal dari pasukan internasional.
BACA JUGA: Moskow Tuding AS Berupaya Ganggu Hubungan Rusia-AfrikaApa yang berawal sebagai pemberontakan yang berbasis di Mali pada 2012, kini telah membesar menjadi sebuah jaringan kawasan berisi kelompok-kelompok ekstremis yang saling bersaing, yang beroperasi di wilayah Niger dan Burkina Faso yang terkurung daratan, serta telah menyebar ke negara-negara pesisir seperti Benin, Togo dan Pantai Gading dalam beberapa tahun terakhir.
Serangan yang dilakukan kelompok-kelompok itu telah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan jutaan orang mengungsi.
Sejauh ini, Ghana, yang di sisi utaranya berbatasan dengan Burkina Faso, terhindar dari aksi mereka. Akan tetapi, pakar keamanan mengatakan bahwa tindak kejahatan terorganisir merajalela, dan masyarakat miskin yang tinggal di daerah-daerah terpencil sangat rentan terhadap perekrutan kelompok-kelompok tersebut – seperti yang terjadi di negara-negara tetangganya.
Daboya sendiri terletak kurang dari 160 kilometer dari Burkina Faso.
“Para mitra harus memanfaatkan kesempatan ini, karena sebagian besar upaya kontraterorisme di Afrika Barat sejauh ini tidak efektif begitu fase pemberontakan yang terbuka (misalnya dengan perekrutan lokal) berlangsung,” kata Aneliese Bernard, direktur Strategic Stabilization Advisors, kelompok penasihat risiko berbasis di AS.
Sejauh ini, upaya koordinasi lintas batas di Afrika Barat dipersulit dengan terjadinya kudeta di Mali, Burkina Faso dan Guinea sejak 2020, yang menyebabkan penjatuhan beberapa sanksi sementara dan penutupan perbatasan.
Perselisihan dengan junta di Mali dan Burkina Faso menyebabkan Prancis menarik mundur ribuan tentaranya dari negara-negara itu selama setahun terakhir, dalam apa yang disebut para pakar sebagai dorongan bagi kelompok-kelompok ekstremis. [rd/jm]