PBB: Afghanistan, Negara Paling Represif di Dunia bagi Perempuan

  • Associated Press

Perempuan Afghanistan menenun wol untuk membuat karpet di pabrik karpet tradisional di Kabul, Afghanistan, Senin, 6 Maret 2023. Setelah Taliban berkuasa di Afghanistan, banyak hak dasar perempuan telah dirampas. (Foto AP/Ebrahim Noroozi)

Sejak diambil alih Taliban, Afghanistan menjadi negara yang paling represif di dunia bagi perempuan dan anak perempuan, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rabu (8/3).

Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Hari Perempuan Internasional, PBB mengatakan bahwa penguasa baru Afghanistan telah menunjukkan "fokus tunggal pada penerapan aturan yang membuat sebagian besar perempuan dan anak perempuan secara efektif terjebak di rumah mereka."

PBB pada intinya mengatakan, perempuan dan anak perempuan di sana kehilangan banyak hak dasar mereka

Terlepas dari janji awal sikap yang lebih moderat, Taliban telah memberlakukan tindakan keras sejak merebut kekuasaan pada Agustus 2021 ketika pasukan AS dan NATO berada di minggu-minggu terakhir penarikan diri mereka dari Afghanistan setelah perang selama dua dekade.

BACA JUGA: Uni Eropa Kenakan Sanksi Terhadap Taliban, Pejabat Rusia, dan Iran Terkait Pelanggaran Hak-hak Perempuan

Mereka telah melarang pendidikan anak perempuan di atas kelas enam dan perempuan di ruang publik seperti taman dan pusat kebugaran. Perempuan juga dilarang bekerja di lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional serta diperintahkan untuk menutup tubuh mereka dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Afghanistan di bawah Taliban menjadi negara paling represif di dunia terkait hak-hak perempuan,” kata Roza Otunbayeva, perwakilan khusus sekretaris jenderal PBB dan kepala misi PBB di Afghanistan.

“Sangat menyedihkan menyaksikan upaya metodis, disengaja, dan sistematis mereka untuk mendorong perempuan dan anak perempuan Afghanistan keluar dari ruang publik,” tambahnya.

BACA JUGA: Utusan AS: Komunitas Internasional Tetap Bersatu untuk Hak Perempuan di Afghanistan

Pembatasan, terutama larangan pendidikan dan pekerjaan LSM, telah menuai kecaman internasional yang keras. Tetapi Taliban tidak menunjukkan tanda-tanda mundur, dan mengklaim bahwa larangan tersebut adalah penangguhan sementara yang diduga karena perempuan tidak mengenakan jilbab Islami, atau jilbab, dengan benar dan karena aturan pemisahan gender tidak diikuti.

Terkait larangan pendidikan universitas bagi perempuan, pemerintah Taliban mengatakan bahwa beberapa mata pelajaran yang diajarkan tidak sejalan dengan nilai-nilai Afghanistan dan Islam.

“Mengurung setengah dari populasi negara di rumah mereka adalah salah satu krisis kemanusiaan dan ekonomi terbesar di dunia. Ini adalah tindakan kolosal yang merugikan diri sendiri secara nasional,” kata Otunbayeva.

Marwa melakukan aksi protes seorang diri di luar Universitas Kabul, menentang larangan kuliah bagi perempuan, di hadapan para anggota Taliban yang berjaga di Kabul, 25 Desember 2022 (AFP)

“Ini tidak hanya akan menjerumuskan perempuan dan anak perempuan, tetapi semua warga Afghanistan, dalam kemiskinan dan ketergantungan pada bantuan hingga generasi-generasi mendatang,” katanya. “Ini akan semakin mengisolasi Afghanistan dari warganya sendiri dan dari seluruh dunia.”

Misi PBB untuk Afghanistan juga mengatakan telah mencatat aliran dekrit dan tindakan diskriminatif yang hampir konstan terhadap perempuan sejak pengambilalihan Taliban.

Dewan Keamanan PBB dijadwalkan bertemu Rabu malam dengan Otunbayeva dan perwakilan-perwakilan perempuan dari kelompok-kelompok masyarakat sipil Afghanistan.

Menurut pernyataan PBB, 11,6 juta perempuan dan anak perempuan Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan. Namun, Taliban semakin mengganggu upaya bantuan internasional melalui larangan perempuan bekerja untuk LSM. [ab/uh]