Jumlah pembajakan di Asia Tenggara telah melonjak, terutama di pusat perdagangan maritim di Selat Malaka, antara Malaysia dan Indonesia.
JENEWA —
Asia Tenggara telah menjadi pusat serangan bajak laut di dunia setelah upaya internasional telah memangkas jumlah pembajakan di pesisir Somalia yang dilanda perang, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kamis (12/6).
Tahun lalu, 28 kapal diserang di bagian barat Samudera Hindia tapi tidak ada yang ditangkap di wilayah itu, menurut laporan Lembaga PBB untuk Pelatihan dan Riset (UNITAR).
Jumlah itu dibandingkan dengan Januari 2011, ketika bajak laut Somalia menyandera 736 orang dan 32 kapal, beberapa di pantai dan yang lainnya di kapal-kapal mereka.
"Ada pengurangan signifikan dalam jumlah serangan bajak laut selama 2013, sehingga bisa dibilang semua hampir berhenti," ujar UNITAR setelah melakukan studi lima tahun.
Serangan-serangan di Tanduk Afrika melonjak dari awal 2000an, dengan pembajakan kapal kargo dan menyandera awak selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Tingkat kekejaman serangan juga berkurang, dengan insiden-insiden yang melibatkan granat yang didorong roket jatuh dari 43 pada 2011 menjadi hanya tiga tahun lalu.
Uang tebusan bagi para pejabat juga telah menurun, dari US$150 juta pada 2011 menjadi $60 juta tahun berikutnya.
Sementara itu, jumlah pembajakan di Asia Tenggara telah melonjak, terutama di pusat perdagangan maritim di Selat Malaka, antara Malaysia dan Indonesia.
Serangan di wilayah ini mencapai 150 tahun lalu, setelah mulai naik sejak 2010, menurut UNITAR.
Bulan lalu, Biro Maritim Internasional mengatakan ada 23 serangan aktual atau percobaan di perairan Asia Tenggara antara Januari dan Maret, terutama di dekat Indonesia.
UNITAR mengatakan pembajakan laut sepertinya akan memburuk di wilayah ini karena pusat gravitasi perkapalan global terus bergeser ke Asia.
Secara total, Bank Dunia memperkirakan bahwa pembajakan merugikan ekonomi global sebesar $18 miliar per tahun.
Jumlah itu "jauh lebih besar dari perkiraan rata-rata pembayaran tebusan yang mencapai $53 juta sejak 2005," menurut bank itu dalam laporan 2013. (AFP)
Tahun lalu, 28 kapal diserang di bagian barat Samudera Hindia tapi tidak ada yang ditangkap di wilayah itu, menurut laporan Lembaga PBB untuk Pelatihan dan Riset (UNITAR).
Jumlah itu dibandingkan dengan Januari 2011, ketika bajak laut Somalia menyandera 736 orang dan 32 kapal, beberapa di pantai dan yang lainnya di kapal-kapal mereka.
"Ada pengurangan signifikan dalam jumlah serangan bajak laut selama 2013, sehingga bisa dibilang semua hampir berhenti," ujar UNITAR setelah melakukan studi lima tahun.
Serangan-serangan di Tanduk Afrika melonjak dari awal 2000an, dengan pembajakan kapal kargo dan menyandera awak selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Tingkat kekejaman serangan juga berkurang, dengan insiden-insiden yang melibatkan granat yang didorong roket jatuh dari 43 pada 2011 menjadi hanya tiga tahun lalu.
Uang tebusan bagi para pejabat juga telah menurun, dari US$150 juta pada 2011 menjadi $60 juta tahun berikutnya.
Sementara itu, jumlah pembajakan di Asia Tenggara telah melonjak, terutama di pusat perdagangan maritim di Selat Malaka, antara Malaysia dan Indonesia.
Serangan di wilayah ini mencapai 150 tahun lalu, setelah mulai naik sejak 2010, menurut UNITAR.
Bulan lalu, Biro Maritim Internasional mengatakan ada 23 serangan aktual atau percobaan di perairan Asia Tenggara antara Januari dan Maret, terutama di dekat Indonesia.
UNITAR mengatakan pembajakan laut sepertinya akan memburuk di wilayah ini karena pusat gravitasi perkapalan global terus bergeser ke Asia.
Secara total, Bank Dunia memperkirakan bahwa pembajakan merugikan ekonomi global sebesar $18 miliar per tahun.
Jumlah itu "jauh lebih besar dari perkiraan rata-rata pembayaran tebusan yang mencapai $53 juta sejak 2005," menurut bank itu dalam laporan 2013. (AFP)