PBB: China Masih Terapkan Kebijakan HAM “Bermasalah” di Xinjiang

Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan sambil memegang foto-foto korban selama protes terhadap tindakan keras brutal Beijing terhadap kelompok etnis Uighur, di depan konsulat China di Istanbul, Turki (foto: dok).

Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan pada Selasa (27/8), bahwa kebijakan “bermasalah” masih ada di China, dua tahun setelah laporan utama mereka yang menyebutkan kemungkinan “kejahatan terhadap kemanusiaan” di Xinjiang.

China dituduh memenjarakan lebih dari satu juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang, wilayah barat laut China. Tuduhan tersebut dibantah keras oleh Beijing.

OHCHR mengungkapkan pada Selasa, bahwa pihaknya telah mengadakan serangkaian diskusi di Jenewa dengan pejabat China sejak Februari 2023. Diskusi ini membuka jalan bagi Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk untuk mengirim tim ke Beijing pada 26 Mei hingga 1 Juni tahun ini.

Tim tersebut mengadakan pembicaraan dengan otoritas China, khususnya tentang “kebijakan antiterorisme dan sistem peradilan pidana”, kata juru bicara OHCHR, Ravina Shamdasani kepada wartawan.

“Terkait Xinjiang, kami memahami bahwa masih banyak undang-undang dan kebijakan yang bermasalah,” kata dia.

OHCHR menuntut agar otoritas China “melakukan peninjauan menyeluruh” terhadap persyaratan hukum yang berkaitan dengan keamanan nasional dan antiterorisme, serta melindungi kaum minoritas dari diskriminasi.

OHCHR mendesak adanya “kemajuan nyata dalam perlindungan hak asasi manusia di China” serta penyelidikan atas dugaan pelanggaran, termasuk penyiksaan.

Sebuah laporan utama oleh pendahulu Turk, Michelle Bachelet -- dirilis beberapa menit sebelum masa jabatannya berakhir pada 31 Agustus 2022 – menyebut tentang kemungkinan “kejahatan terhadap kemanusiaan” di Xinjiang.

BACA JUGA: Kelompok HAM: Ratusan Ilmuwan Uighur Ditahan di China

Laporan tersebut, yang ditolak mentah-mentah oleh China, merinci bukti “kredibel” tentang penyiksaan, perawatan medis paksa, dan kekerasan seksual atau berbasis gender, serta kerja paksa.

China membantah tuduhan pelecehan dan menegaskan bahwa mereka menjalankan pusat pelatihan kejuruan di Xinjiang yang telah membantu memerangi ekstremisme dan meningkatkan pembangunan.

Shamdasani juga mengatakan, tim OHCHR yang dikirim ke Beijing bertemu dengan perwakilan dari Xinjiang dan Hong Kong, tetapi tidak melakukan perjalanan ke luar ibu kota. Kunjungan lebih lanjut sedang didiskusikan.

Shamdasani mengatakan kerja sama tersebut “positif” tetapi “dalam hal implementasi nyata masih banyak yang perlu ditingkatkan.” “Itulah sebabnya kami perlu terus bekerja sama dengan mereka, guna melihat apakah kami dapat mencapai kemajuan,” lanjutnya.

OHCHR mengawasi kondisi di China meskipun ada kesulitan yang disebabkan oleh terbatasnya akses ke informasi, “dan ketakutan akan pembalasan terhadap individu yang terlibat dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa”, katanya. [ns/uh]