Sekelompok pakar di PBB, pada Senin (16/1), menyampaikan “peringatan” atas peningkatan praktik pindah agama secara paksa dan kawin paksa yang menimpa perempuan-perempuan muda dari kelompok agama minoritas di Pakistan. PBB menyerukan pada Pakistan untuk segera mengambil langkah-langkah guna membatasi praktik tersebut.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Urusan Hak Asasi Manusia, para pakar tersebut mendesak pemerintah Pakistan untuk “secara objektif” menyelidiki tindakan-tindakan itu, sejalan dengan undang-undang di dalam negeri dan komitmen hak asasi internasional untuk meminta pertanggungjawaban pelaku.
Kelompok yang terdiri dari 12 pakar HAM PBB itu mencakup pelapor khusus tentang perdagangan dan eksploitasi seksual anak-anak, pelapor khusus soal kekerasan terhadap perempuan dan isu-isu minoritas, dan pelapor soal bentuk-bentuk perbudakan kontemporer.
BACA JUGA: Pakistan Luncurkan Kampanye Anti-Polio Menarget 44 Juta Anak“Kami sangat terusik mendengar bahwa gadis-gadis berusia 13 tahun diculik dari keluarga mereka, diperdagangan ke lokasi yang jauh dari rumah mereka, dipaksa menikah dengan laki-laki yang kadang-kadang berusia dua kali di atas usia mereka, dan dipaksa masuk Islam. Itu semua melanggar hukum hak asasi manusia internasional,” demikian petikan pernyataan itu.
Perbuatan itu diduga dilakukan dengan ancaman kekerasan terhadap anak perempuan, perempuan dewasa dan keluarga mereka.
Otoritas Pakistan Diduga Terlibat
Para pakar itu mengatakan praktik kawin paksa dan pindah agama secara paksa tersebut melibatkan pihak berwenang urusan agama di Pakistan, pasukan keamanan dan sistem peradilan.
“Anggota-anggota keluarga (korban) mengatakan pengaduan mereka jarang ditanggapi serius oleh polisi, dengan menolak untuk mendaftarkan laporan mereka, atau berdalih tidak ada kejahatan yang terjadi dan menyebut penculikan itu sebagai “love marriages” atau perkawinan atas dasar cinta,” tambah pernyataan itu.
“Otoritas Pakistan harus mengadopsi dan menegakkan undang-undang yang melarang pindah agama secara paksa, kawin anak dan kawin paksa, penculikan dan perdagangan…. Dan menegakkan hak-hak perempuan dan anak-anak.”
BACA JUGA: Pakistan Puji Komunitas Internasional atas Janji Dana Pemulihan Banjir Hampir Rp150 TriliunBelum ada tanggapan langsung dari pemerintah Pakistan terhadap pernyataan PBB itu.
Kelompok hak asasi manusia Pakistan dan sejumlah kelompok HAM asing mengatakan pemaksaan untuk berpindah agama dan perkawinan perempuan muda dari agama minoritas, termasuk Hindu dan Kristen, merupakan masalah yang sedang berkembang di Pakistan.
Para aktivis mengatakan para pelaku lolos dari jeratan hukum karena di pengadilan, pemaksaan pindah agama itu sering digambarkan sebagai masalah agama, dan pengacara mereka berargumen bahwa para perempuan itu masuk Islam secara sukarela.
Pemerintah Pakistan Dinilai Gagal Lindungi Kelompok Minoritas
Ratusan kasus seperti itu dilaporkan terjadi di Pakistan setiap tahunnya. Korban terutama berasal dari keluarga miskin dan kasta rendah.
Praktik pindah agama secara paksa yang menimpa para perempuan beragama Hindu yang diculik, dan dipaksa kawin dengan laki-laki Muslim, yang dalam banyak kasus adalah penculik mereka sendiri, merupakan hal rutin yang terjadi di provinsi Sindh. Sebanyak 90 persen kelompok minoritas Hindu tinggal di provinsi tersebut.
Dari total jumlah penduduk Pakistan yang mencapai 220 juta jiwa, 2 Persen di antaranya memeluk agama Hindu, sementara jumlah penganut agama Kristen kurang dari 1,5 persen dari total populasi.
BACA JUGA: PBB Desak Taliban untuk Akhiri 'Kampanye Berbahaya' terhadap PerempuanPemerintah Pakistan, dari satu era ke era lain, telah gagal menghentikan praktik pindah agama secara paksa atau melindungi kelompok agama minoritas dari praktik semacam itu. Hal ini terutama disebabkan karena kuatnya tekanan dari kelompok Islam.
Sebuah komite parlemen Pakistan pada Oktober 2021 lalu membatalkan rancangan undang-undang yang akan mengkriminalisasi konversi atau pindah agama secara paksa yang mengusulkan hukuman penjara hingga 10 tahun bagi pelaku.
Pernyataan PBB pada Senin itu juga menyatakan “para pakar menyesalkan kurangnya akses keadilan bagi korban dan keluarga mereka, dengan merujuk pada upaya Pakistan sebelumnya untuk meloloskan undang-undang yang akan melarang pindah agama secara paksa dan melindungi kelompok agama minoritas.” [em/rs]