Perubahan iklim mengancam kemajuan yang telah dicapai dalam puluhan tahun dalam upaya menuju kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik, terutama terhadap komunitas yang paling rentan, ungkap laporan baru badan cuaca PBB.
Dalam laporan tahunan State of Climate Services, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), pada Kamis (2/11), memperingatkan bahwa krisis iklim menyebabkan krisis kesehatan global dan banyak dari dampak buruk perubahan iklim dapat diperkecil dengan sejumlah tindakan adaptasi dan pencegahan.
WMO menambahkan, perubahan iklim menyebabkan suhu dunia naik lebih cepat dibandingkan periode mana pun dalam sejarah.
BACA JUGA: 200.000 Hektare Lahan Kelapa Sawit Indonesia akan Dihutankan Kembali"Tidak ada lagi jalan untuk kembali ke masa iklim yang lebih sejuk satu abad yang lalu. Sebenarnya, kita bergerak menuju iklim yang lebih hangat untuk beberapa dekade mendatang," ujar Petteri Taalas, sekretaris jenderal WMO.
"Jika kita tidak berhasil menghentikan tren negatif ini" dengan membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 atau 2 derajat Celsius, "kita akan melihat situasinya semakin memburuk," tambahnya.
Laporan itu mendapati bahwa negara-negara di Afrika dan Asia Selatan paling berisiko terkena perubahan iklim. Menurut laporan itu, perubahan iklim memicu penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti demam berdarah dan malaria, bahkan di tempat-tempat yang belum pernah mengalaminya.
WMO melaporkan panas ekstrem menyebabkan lebih banyak kematian dibandingkan peristiwa cuaca ekstrem lainnya. WMO memperkirakan, suhu tinggi menewaskan sekitar 489.000 orang per tahun sejak 2000 hingga 2019. Sekitar 45% kematian tersebut terjadi di Asia dan 36% di Eropa.
Laporan itu mencatat bahwa gelombang panas juga memperburuk polusi udara, "yang telah menyebabkan sekitar 7 juta kematian dini setiap tahunnya dan merupakan pembunuh terbesar keempat berdasarkan faktor risiko kesehatan."
BACA JUGA: Pakar: Pemulung Perlu Dintegrasikan ke Sektor Penanggulangan Sampah Formal"Ada tantangan besar yang dihadapi komunitas kesehatan untuk mengatasi perubahan iklim," kata kepala Kantor Gabungan WHO/WMO untuk Iklim dan Kesehatan, Joy Shumake-Guillemot.
Dia mengatakan laporan itu berfokus pada kekuatan dan peluang penggunaan ilmu pengetahuan dan layanan iklim untuk memberi informasi yang lebih baik dalam kebijakan nasional.
Namun, meskipun 74% dari layanan meteorologi nasional menyediakan data ke sistem kesehatan di negara-negara di seluruh dunia, “hanya sekitar 23% kementerian kesehatan yang benar-benar menggunakan informasi ini secara sistematis dalam sistem pemantauan kesehatan untuk melacak penyakit-penyakit yang kita ketahui dipengaruhi iklim,” katanya. Ia menambahkan bahwa layanan iklim harus dikembangkan lebih lanjut untuk mengatasi kesenjangan ini. [ka/lt]