Perdagangan ilegal tanaman dan satwa liar masih terus terjadi, menurut sebuah laporan PBB, Senin (13/5). Menurut laporan itu, penting sekali bagi pemerintah untuk berfokus bukan hanya pada spesies yang ‘ikonik’ seperti gajah, yang telah mencapai kemajuan dalam hal tersebut.
Meskipun penyitaan yang dilaporkan pada 2020 dan 2021 adalah sekitar setengah daripada yang disebut dalam laporan-laporan sebelumnya, penurunan ini mungkin dapat dikaitkan dengan gangguan terkait COVID, bukannya penurunan perdagangan yang sesungguhnya, kata Kantor PBB untuk urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dalam World Wildlife Crime Report (Laporan Kejahatan Satwa Liar Dunia).
Kajian ini diterbitkan empat tahun sekali dan 2020-2021 merupakan tahun-tahun terakhir di mana data tersedia.
“Perdagangan satwa liar secara keseluruhan belum berkurang banyak selama dua dekade,” kata UNODC dalam sebuah pernyataan dalam laporan itu, seraya menyerukan berbagai tindakan yang mencakup penegakan dan penerapan legislasi yang lebih baik, termasuk UU antikorupsi.
“Ribuan spesies yang terancam punah terdampak oleh perdagangan satwa liar, yang minoritas kecilnya, seperti gajah, macan dan badak, justru menjadi mayoritas perhatian kebijakan,” kata laporan itu.
Kejahatan perdagangan satwa liar “seperti pengumpulan tanaman sukulen dan anggrek langka,” dan perdagangan berbagai jenis reptil, ikan, burung dan mamalia telah berperan besar dalam menyebabkan kepunahan di tingkat lokal dan global, lanjut laporan itu.
Pada 2015-2021, penyitaan 13 juta benda memperlihatkan perdagangan ilegal sekitar 4.000 spesies tanaman dan hewan di sekitar 162 negara dan teritori, kata laporan itu. Spesies yang paling umum diperjualbelikan secara ilegal adalah karang (16%), buaya (9%) dan gajah (6%).
Sebuah titik terang yang langka didapati dalam upaya-upaya memerangi perdagangan gading gajah dan cula badak, kata laporan itu, yang menunjuk pada merosotnya perburuan liar, tingkat penyitaan dan harga pasar selama dekade terakhir. [uh/ns]