Dalam waktu-waktu tertentu, Tsimamorekm Aly, salah seorang warga Madagaskar, hanya bisa mengkonsumsi air manis sebagai pengganti makanan. Dia senang jika memiliki kesempatan untuk makan nasi. Namun dengan kondisi enam anak kecil dan seorang istri yang harus ia nafkahi, Aly sering memilih untuk tidak makan.
Ini adalah tahun keempat di mana kekeringan menghancurkan rumah Aly di Madagaskar selatan. Saat ini terdapat lebih dari satu juta orang, atau dua dari lima penduduk, di wilayah Grand Sud-nya yang membutuhkan bantuan makanan darurat. PBB menyebutnya sebagai "kelaparan perubahan iklim.”
"Tahun-tahun sebelumnya hujan, banyak hujan. Saya menanam ubi jalar dan saya punya banyak uang. Saya bahkan menikah karena saya kaya," kata Aly, 44 tahun.
"Segalanya telah berubah," katanya, berdiri di atas hamparan tanah oker di mana satu-satunya tanaman hijau yang terlihat adalah kaktus yang tinggi dan runcing.
Perubahan iklim melanda negara kepulauan yang terletak di Samudra Hindia itu. Beberapa badan PBB telah memperingatkan dalam beberapa bulan terakhir tentang "kelaparan perubahan iklim" di wilayah tersebut.
"Situasi di selatan negara itu benar-benar mengkhawatirkan," kata Alice Rahmoun, juru bicara Program Pangan Dunia PBB di Madagaskar. "Saya mengunjungi beberapa distrik ... dan mendengar dari keluarga bagaimana perubahan iklim telah mendorong mereka kelaparan."
Para peneliti di University of California di Santa Barbara mengatakan pola curah hujan di Madagaskar tumbuh lebih tidak menentu - mereka sudah di bawah rata-rata selama hampir enam tahun.
"Di beberapa desa, hujan tepat terakhir terjadi tiga tahun lalu, di desa lain delapan tahun lalu atau bahkan 10 tahun lalu," kata Rahmoun. "Ladang gundul, biji tidak bertunas dan tidak ada makanan."
BACA JUGA: PBB: Bencana Kelaparan Memburuk di Madagaskar SelatanSuhu di Afrika bagian selatan meningkat dua kali lipat dari tingkat global, kata Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim. Topan, yang sudah lebih sering terjadi di Madagaskar daripada negara Afrika lainnya, kemungkinan semakin kuat saat suhu Bumi menghangat, kata pemerintah AS.
Konflik telah menjadi penyebab utama kelaparan di negara-negara seperti Ethiopia, Sudan Selatan, Somalia dan Yaman, saat serangkaian perang menghentikan orang-orang yang bergerak untuk mencari makanan. Namun konflik tidak terjadi di Madagaskar yang damai.
"Perubahan iklim sangat berdampak dan sangat menonjolkan kelaparan di Madagaskar," kata Presiden Andry Rajoelina saat mengunjungi daerah yang paling parah terkena dampak awal bulan ini. "Madagaskar adalah korban perubahan iklim."
Proyek Karbon Dunia mengatakan negara ini menghasilkan kurang dari 0,01 persen emisi karbon dioksida global.
Setengah juta anak di Madagaskar diperkirakan akan mengalami kekurangan gizi akut, dan 110.000 diantaranya mengalami kondisi yang sangat parah, kata Badan untuk Dana Anak-anak PBB. Hal tersebut menyebabkan keterlambatan perkembangan, penyakit dan kematian
Nutriset, perusahaan Prancis yang memproduksi makanan darurat Plumpy'Nut, membuka pabrik di selatan Madagaskar pada minggu lalu. Mereka bertujuan untuk memproduksi 600 ton makanan setiap tahun. Makanan yang dihasilkan tersebut akan diperkaya dengan terapi yang terbuat dari kacang, gula dan susu untuk anak-anak kurang gizi.
Pemerintah Malagasi juga memberikan sebidang tanah kepada beberapa keluarga yang pindah dari daerah yang paling parah dilanda bencana. Dua ratus keluarga menerima tanah dengan ayam dan kambing, yang lebih tahan kekeringan daripada sapi. Mereka juga didorong untuk menanam singkong, yang lebih tahan kekeringan dibandingkan jagung.
"Itu bencana alam," kata Aly. "Semoga Tuhan membantu kita." [ah/rs]