Banjir dan kekeringan yang semakin intens merupakan “sinyal bahaya” dari apa yang akan terjadi, karena perubahan iklim membuat siklus air di planet ini semakin tidak dapat diprediksi, demikian ungkap PBB, Senin (7/10).
Tahun lalu, sungai-sungai di bumi mengalami kondisi terkering selama lebih dari 30 tahun, gletser mengalami pencairan massa es terbesarnya dalam setengah abad, dan bencana banjir terjadi dalam jumlah yang “signifikan”, kata Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB dalam sebuah laporan.
“Air ibarat burung kenari di tambang batu bara perubahan iklim,” kata Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo dalam sebuah pernyataan yang menyertai laporan Keadaan Sumber Daya Air Global.
Burung kenari adalah indikator awal adanya bahaya gas beracun dalam pertambangan. Pernyataan Saulo merupakan sebuah analogi bahwa segala perubahan yang terkait air menjadi sinyal awal perubahan iklim. “Kita menerima sinyal-sinyal bahaya dalam bentuk curah hujan yang semakin ekstrem, banjir dan kekeringan yang menimbulkan dampak besar pada kehidupan, ekosistem dan ekonomi,” katanya.
Saulo mengatakan memanasnya atmosfer bumi telah membuat siklus air menjadi lebih tidak menentu dan tidak dapat diprediksi.
Tahun lalu merupakan rekor tahun terpanas, dengan suhu yang tinggi dan kondisi kering yang meluas sehingga menyebabkan kekeringan yang berkepanjangan. Banjir juga terjadi di berbagai wilayah di dunia.
Peristiwa-peristiwa ekstrem itu sebagiannya dipengaruhi oleh kondisi iklim yang terjadi secara alami, termasuk fenomena cuaca La Nina dan El Nino, dan semakin dipengaruhi oleh perubahan iklim yang disebabkan ulah manusia.
“Atmosfer yang lebih hangat menyimpan lebih banyak uap air, yang mendorong curah hujan tinggi. Penguapan yang lebih cepat dan pengeringan tanah memperburuk kondisi kekeringan,” kata Saulo.
Pencairan Gletser dalam Skala Besar
Air yang terlalu melimpah ataupun tidak cukup menyebabkan masalah bagi banyak negara. Tahun lalu, Afrika merupakan benua yang paling terdampak dalam hal korban jiwa.
Di Libya, dua bendungan jebol akibat banjir besar pada September 2023, merenggut lebih dari 11.000 nyawa dan mempengaruhi 22 persen populasi, menurut WMO.
Banjir juga melanda wilayah Tanduk Besar Afrika, Republik Demokratik Kongo, Rwanda, Mozambik, dan Malawi.
Menurut PBB, saat ini ada 3,6 miliar orang yang tidak memiliki akses memadai ke air bersih setidaknya sebulan sekali per tahun. Angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 5 miliar pada tahun 2050.
Selama tiga tahun terakhir, lebih dari 50 persen daerah tangkapan air sungai menjadi lebih kering dari biasanya.
Sementara itu, aliran air yang masuk ke waduk berada di bawah level normal di banyak daerah di dunia dalam setengah dekade terakhir.
Your browser doesn’t support HTML5
Meningkatnya suhu juga mengakibatkan gletser mencair dengan kecepatan yang belum pernah terjadi, di mana gletser kehilangan lebih dari 600 miliar ton air—terburuk dalam 50 tahun observasi, menurut data awal untuk September 2022 hingga Agustus 2023.
Selain membatasi emisi gas rumah kaca buatan manusia yang menyebabkan pemanasan global, WMO ingin agar sumber daya air tawar di dunia dapat dipantau dengan lebih baik, sehingga sistem peringatan dini dapat mengurangi kerusakan pada manusia dan satwa liar.
Stefan Uhlenbrook, direktur departemen hidrologi, air, dan kriosfer WMO, menekankan pentingnya investasi infrastruktur untuk melestarikan air dan melindungi masyarakat dari bahaya.
Namun, ia juga menyoroti perlunya melestarikan air, terutama untuk pertanian, yang menggunakan 70 persen konsumsi air tawar dunia.
Ia memperingatkan bahwa akan sulit untuk mengembalikan siklus air yang lebih teratur.
“Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah menstabilkan iklim, yang merupakan tantangan dari generasi ke generasi,” ujarnya. [br/ka]