Dua dasawarsa lalu, perkonomian China yang digerakkan oleh pabrik-pabrik di wilayahnya memukau dunia karena tumbuh lebih dari 10 persen per tahun. Tetapi negara itu kini kehilangan pertumbuhan dua digit selama 10 tahun terakhir.
Walaupun PDB yang tercatat pada periode April hingga Juni tahun ini sedikit lebih tinggi dari pencapaian pada periode yang sama tahun lalu, namun nilainya menyusut dibandingkan periode tiga bulan awal pada tahun ini.
BACA JUGA: Pembicaraan Telepon Biden-Xi Pekan Ini akan Membahas Taiwan dan UkrainaPara ekonom menceritakan secara konsisten kisah yang sama tentang bagaimana penurunan itu terjadi: Penutupan wilayah untuk menghentikan penularan COVID-19 merugikan pekerjaan pabrik dan pengiriman ekspor.
Mereka mengatakan, kemunduran itu menambah kesulitan keuangan di antara perusahaan-perusahaan properti top di China. Ekonomi China yang bernilai $18 triliun, terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, menyusut 2,6 persen dari April hingga Juni dibandingkan dengan tiga bulan pertama tahun ini.
BACA JUGA: Pengamat: Kekuatan China di Kawasan Indo Pasifik Semakin Berkembang"Ekonomi China tampak mengalami tanda-tanda gangguan sejak Februari akibat wabah COVID-19 di sejumlah kota di China," kata Rajiv Biswas, direktur eksekutif dan kepala ekonom Asia-Pasifik di S&P Global Market Intelligence. Dia menyebut produksi industri, penjualan eceran, dan operasi pelabuhan sebagai titik masalah tertentu.
“Gangguan yang terjadi pada penjualan ritel dan produksi industri cukup parah selama April sampai Mei. Dan di Shanghai, operasional pelabuhan dan logistik juga cukup terganggu selama April,” kata Biswas. Shanghai adalah kota pelabuhan utama China. Pemerintah pusat memerintahkan penutupan atau lockdown di wilayah tersebut pada bulan April lalu. [ps/rs]