Pegiat literasi menegaskan minat baca sesungguhnya tidak dapat diukur oleh satu indikator saja, yaitu membaca buku. Namun, hal itu perlu dilihat dalam konteks literasi secara menyeluruh, serta melihat upaya meningkatkan minat baca masyarakat oleh banyak kelompok.
“Kalau menurut aku sebenarnya kemampuan literasi itu tidak hanya membaca dan menyerap, tetapi mampu memilah. Nah, pada tahap mampu memilah, ini PR bareng. Kamu bisa membaca, tapi bisa membaca belum tentu bisa memahami,” ujar Windy Ariestanty dari Patjarmerah.
Tak cukup sampai di situ. Setelah memahami, kata Windy, maka tingkatan berikutnya adalah kemampuan seseorang untuk dapat memilah informasi.
“Nah, literasi sekarang sekarang sebenarnya tahapannya sampai di situ, begitu banyak akses, sekarang kecerdasan berliterasi juga didorong salah satunya pada kemampuan kita memilah informasi, mana yang bisa dipercaya, mana yang tidak bisa dipercaya, dan bisa memilah apabila kita mau membacanya,” ujarnya.
Berdasarkan riset Kementerian Komunikasi dan Informatika 2021 dan UNESCO 2022, indeks minat baca masyarakat di Indonesia disebutkan hanya mencapai 0,001 persen, atau dari 1.000 orang hanya satu orang yang gemar membaca.
Senada dengan Windy, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Petra Surabaya Inri Inggrit Indrayani mengatakan literasi merupakan kemampuan dan kecerdasan seseorang dalam mencari dan mengelola informasi yang diinginkan, menjadi pengetahuan yang berharga. Membaca adalah awal dari tahapan berliterasi untuk mendapatkan informasi serta pengetahuan yang bermanfaat.
Your browser doesn’t support HTML5
Meski teknologi internet serta kecerdasan buatan sudah banyak membantu orang mendapatkan informasi yang dibutuhkan, Inggrit menganjurkan masyarakat, khususnya pelajar, untuk lebih banyak membaca buku sebagai sumber literasi.
“Jadi memang literasi itu salah satunya dibangun dengan meng-encourage budaya baca yang tinggi. Dengan membaca, maka kita akan mempunyai kemampuan memilah informasi. Ketika kita mampu memilah informasi, kita sebenarnya itu sudah mengkonsumsi asupan-asupan informasi dan pengetahuan yang sebenarnya bisa membantu kita untuk banyak hal.”
BACA JUGA: Akademi Digital Lansia, Upaya Mafindo Lawan Penipuan Digital dan HoaksKathleen Azali, dari C2O Library and Collabtive mengatakan dunia pendidikan di Indonesia saat ini perlu mengembangkan pelajaran bahasa Indonesia yang tidak sekedar mengikuti kurikulum, melainkan mulai mengenalkan bacaan-bacaan baru di luar buku pelajaran sekolah. Hal tersebut diharapkan akan menstimulasi generasi muda semakin menyukai membaca buku.
“Di pelajaran bahasa Indonesia, kita diperkenalkannya untuk belajar tata bahasa. Tapi, untuk orang-orang belajar dan diperkenalkan buku yang menyenangkan saja, novel (misalnya), di sekolah itu tidak dikenalkan,” tukasnya.
Sementara itu, Nabila Putri, dari komunitas BacadiSurabaya, menggarisbawahi terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas penunjang literasi seperti perpustakaan dan ruang baca. Fasilitas tersebut, katanya, hanya dapat diakses sebagian orang, tetapi tidak memberikan kemudahan bagi sebagian kelompok. Selain itu, digitalisasi yang telah dilakukan juga dianggap belum ramah bagi orang tua, disabilitas, maupun yang memiliki keterbatasan perangkat teknologi.
“Boleh semua didigitalisasi, dengan catatan kita juga harus bisa melihat kacamata orang-orang yang tidak punya akses ke internet, tidak punya smartphone, atau orang tua, atau tunanetra yang bahkan tidak ada akses buat daftar khusus tunanetra,” katanya.
Ditambahkan Windy, kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas, sangat berpengaruh terhadap pemerataan dan kelengkapan buku di tengah masyarakat. Maka kemudahan mengakses fasilitas literasi itu, serta kemampuan masyarakat menyerap informasi yang didapatkan menjadi sangat penting. [pr/ah]