Pejabat AS: Persenjataan untuk Pihak yang Bertikai di Sudan ‘Harus Dihentikan’

  • Margaret Besheer

Asap mengepul dari sejumlah gedung yang terbakar akibat serangan dalam perang antara pasukan paramiliter RSF dan tentara pemerintah sudan di Khartoum, pada 1 Mei 2023. (Foto: Reuters/Mohamed Nureldin)

Seorang pejabat senior AS mendesak sejumlah negara untuk berhenti memasok senjata kepada para jenderal Sudan yang bersaing untuk perang saudara mereka, dengan mengatakan bahwa hal tersebut memicu “kematian, kehancuran dan perlawanan.”

“Konflik sebagaimana dirinci dalam laporan ini, dipicu oleh transfer senjata dari segelintir negara di kawasan – transfer senjata harus dihentikan,” kata Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield kepada wartawan pada hari Rabu (6/3).

Dia berbicara tentang laporan akhir panel ahli Sudan yang beranggotakan lima orang, dan diberi mandat oleh Dewan Keamanan untuk melaporkan penerapan sanksi dewan. Laporan itu diterbitkan minggu ini.

Thomas-Greenfield menggambarkan temuan laporan ini sebagai “hal yang membuat mual” dan merinci “kekejaman demi kekejaman.”

Pertempuran meletus pada bulan April tahun lalu antara panglima militer Sudan, Jenderal Abdel Fattah Burhan, dan Mohamed Hamdan Dagalo, yang memimpin kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Kedua jenderal tersebut pernah bersekutu dalam pemerintahan transisi Sudan setelah kudeta tahun 2021 tetapi berebut untuk mendapatkan kekuasaan.

BACA JUGA: WFP: Sudan akan Segera Alami ‘Krisis Kelaparan Terbesar di Dunia’

Laporan setebal 52 halaman, yang diselesaikan pada pertengahan Januari lalu, mengatakan bahwa Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat pemberontak memiliki kemampuan finansial untuk mendanai perang mereka, dan mencatat bahwa mereka mengendalikan sebagian besar perdagangan emas di Sudan.

Meskipun SAF memulai perang dalam kondisi ekonomi yang baik, panel tersebut menemukan bahwa kelompok tersebut telah kehilangan kendali atas beberapa sektor ekonomi dan perusahaan penting dan sekarang sebagian besar bergantung pada pengusaha kaya untuk membeli peralatan militer bagi pasukannya.

RSF mendanai operasinya sebagian melalui biaya yang dibebankan kepada orang-orang yang menginginkan perjalanan mereka aman dan untuk melindungi konvoi yang melewati daerah-daerah yang berada di bawah kendalinya di wilayah Darfur di Sudan, yang merupakan tempat terjadinya banyak pertempuran.

RSF juga telah mengembangkan jalur pasokan baru untuk para pejuangnya, menyelundupkan senjata, amunisi, bahan bakar dan kendaraan ke Sudan melalui Chad timur, Libya selatan dan Sudan Selatan.

Panel menemukan bahwa sejak bulan Juli dan setelahnya, RSF mulai menggunakan beberapa jenis senjata berat dan canggih yang tidak dimiliki pada awal perang.

“Senjata RSF baru ini berdampak besar pada keseimbangan kekuatan, baik di Darfur dan wilayah lain di Sudan,” tulis panel tersebut. “Artileri berat baru memungkinkan RSF dengan cepat mengambil alih Nyala dan El Geneina, sementara perangkat anti pesawat barunya membantu melawan aset utama SAF, yaitu angkatan udaranya.”

Para pendukung dan anggota kelompokperlawanan Sudan, yang mendukung tentara pemerintah, berkumpul di Gedaref, Sudan, pada 16 Januari 2024. (Foto: AFP/Ebrahim Hamid)

Panel tersebut mengatakan bahwa sejak Juni, berbagai pakar pelacakan penerbangan telah mengamati banyak pesawat kargo yang berasal dari Bandara Internasional Abu Dhabi di Uni Emirat Arab tiba di Bandara Internasional Amdjarass di Chad timur, dengan pemberhentian di Kenya, Rwanda, dan Uganda. Mereka mengatakan informasi yang mereka kumpulkan memperkuat laporan media yang menuduh pesawat tersebut membawa senjata, amunisi dan peralatan medis untuk RSF.

Para ahli menghubungi Uni Emirat Arab (UEA) untuk meminta tanggapan. Pemerintah UEA membantah terlibat dalam pengiriman senjata dan amunisi, dan mengatakan penerbangan mereka mengangkut bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Sudan.

Pertanyaan panel serupa yang diajukan kepada Chad tidak dijawab.

Pada bulan Desember, utusan Sudan untuk PBB meminta Dewan Keamanan untuk mencabut sanksi terhadap pasukan pemerintah dan menerapkan embargo senjata terhadap pasukan pemberontak.

“Jika kita benar-benar ingin menjaga perdamaian dan keamanan di Darfur, perlu mengecualikan angkatan bersenjata dari embargo yang diberlakukan sejak tahun 2004,” kata Duta Besar Al-Harith Idriss Al-Harith Mohamed saat itu.

Para ahli mengatakan SAF telah menggunakan pemboman udara dan penembakan besar-besaran di daerah perkotaan di Darfur, yang menyebabkan krisis kemanusiaan skala besar.

Kantor hak asasi manusia PBB mengatakan sedikitnya 14.600 orang tewas dan 26.000 lainnya terluka, meskipun jumlah korban sebenarnya mungkin lebih tinggi. Dalam laporan mereka, para ahli mengatakan setidaknya 10.000 hingga 15.000 orang telah terbunuh di El Geneina saja.

BACA JUGA: Aktivis Sudan Selatan di AS Didakwa Coba Ekspor Senjata Secara Ilegal untuk Kudeta di Negaranya

Para ahli merinci kekerasan seksual yang mengerikan terkait konflik, khususnya di Darfur yang dilakukan RSF, yang sering kali ditargetkan secara etnis terhadap perempuan dan anak perempuan berusia 9 hingga 75 tahun, seringkali berasal dari komunitas Masalit. Panel tersebut mengatakan bahwa penembak jitu RSF juga tanpa pandang bulu menargetkan warga sipil, termasuk perempuan hamil dan remaja, dan tubuh mereka sering dibiarkan membusuk di jalan karena warga takut menjadi sasaran saat mengambil mereka.

Pada hari Rabu, Program Pangan Dunia memperingatkan bahwa perang tersebut dapat memicu krisis kelaparan terbesar di dunia, dengan 25 juta orang di Sudan, Sudan Selatan dan Chad “terperangkap dalam lingkaran memburuknya ketahanan pangan.”

Kelompok kemanusiaan tidak bisa menyediakan makanan yang cukup untuk warga sipil karena ketidakamanan dan campur tangan pihak-pihak yang bertikai. WFP mengatakan 90% orang yang menghadapi kelaparan tingkat darurat di Sudan sebagian besar berada di daerah yang sulit dijangkau.

Sekretaris Jenderal PBB akan memberikan pengarahan kepada Dewan Keamanan ketika bertemu di Sudan pada hari Kamis. [my/rs]