Pasukan Garda Nasional telah dikerahkan ke 31 negara bagian untuk membantu penegak hukum lokal menanggapi protes yang dimulai seminggu lalu sehubungan kematian George Floyd, seorang warga kulit hitam Amerika, ketika berada dalam tahanan polisi.
Kehadiran militer ini paling menyolok di daerah ibukota Washington DC. Presiden Trump minta para gubernur mengirim pasukan Garda nasional ke District of Columbia, dan Menteri Pertahanan Mark Esper telah memerintahkan pemindahan 1300 pasukan ke pangkalan di luar ibukota sehingga bisa dikerahkan kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.
Pada hari Senin, satuan polisi federal baik dari Secret Service, Garda Nasional, dan US Park Police secara paksa mengusir pemrotes damai dari Lafayette Square, di depan Gedung Putih, sebelum Trump kemudian menyeberangi alun-alun itu bersama beberapa anggota kabinetnya, termasuk Esper, dan Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley. Presiden kemudian berdiri di depan sebuah gereja bersejarah untuk difoto sambil memegang kitab suci. Kejadian ini telah mengundang teguran dari beberapa mantan pemimpin Pentagon.
Mantan Menteri Pertahanan Jim Mattis menulis di majalah The Atlantic: “Tidak pernah saya bermimpi bahwa pasukan yang bersumpah setia kepada Konstitusi akan diperintahkan melanggar hak-hak Konstitusional dari sesama warga Amerika, apalagi melapangkan jalan untuk sebuah kesempatan berfoto yang aneh untuk Panglima Tertinggi dan didampingi para pemimpin militer.”
BACA JUGA: Menhan AS: Tidak Perlu Militer untuk Bubarkan PendemoMenteri Pertahanan Mark Esper membela perannya dalam kejadian Senin (1/6), katanya dia tidak tahu bahwa penegak hukum mengusir pemrotes. Tetapi dia mengakui bahwa ada “nada politik” dalam penanggapan terhadap protes ini.
Presiden Trump menekankan perlunya penegakan tertib hukum dan menyebut dirinya “sekutu dari semua pemrotes damai.” Dia mengancam akan memberlakukan sebuah UU dari tahun 1807 yang mengijinkan presiden untuk mengerahkan pasukan militer di dalam negeri untuk menumpas kekacauan sipil dimana terjadi penjarahan dan vandalisme.
Tetapi Esper mengatakan kepada reporter dia tidak mendukung langkah itu. "Opsi penggunaan pasukan aktif dalam peran penegak hukum hanya dipakai sebagai pilihan akhir, dan dalam situasi yang paling mendesak dan gawat. Kita tidak berada dalam situasi seperti itu sekarang. Saya tidak mendukung pemberlakuan hukum Anti Pemberontakan.”
Your browser doesn’t support HTML5
Pernyataannya ini telah membuat Presiden Trump marah.
Mantan Ketua Kepala Staf Gabungan Laksamana Mike Mullen juga mengungkapkan oposisinya di majalah The Atlantic: “Saya tetap yakin dengan profesionalisme anggota-anggota militer kita. Mereka akan berbakti sesuai keterampilan dan hati nurani mereka. Mereka akan patuh pada perintah sesuai hukum. Tetapi saya ragu-ragu tentang kewajaran perintah-perintah panglima tertinggi ini, dan saya tidak yakin bahwa kondisi di jalan-jalan, meskipun buruk, sudah sampai pada tingkat yang membutuhkan keterlibatan pasukan militer,” demikian ditulis Laksamana Mullen. [jm/ii]