Tidak banyak perusahaan di Indonesia yang memiliki kepedulian terkait isu HIV/AIDS bagi pekerjanya. PT Ungaran Sari Garment di Semarang, Jawa Tengah, adalah satu dari yang sedikit. Nur Arifin, yang berbicara mewakili perusahaan itu mengatakan, butuh proses panjang untuk menyadarkan pekerja bahwa HIV/AIDS penting diketahui, dan lebih penting lagi untuk mencegah tertular.
"Ketika kita berbicara mengenai HIV AIDS itu sendiri, pada awalnya memang masih menjadi sesuatu yang sifatnya itu tabu. Karena masih banyak yang menahan diri untuk bicara apa adanya, untuk bicara yang lebih transparan,” kata Nur Arifin.
Nur Arifin berbicara secara daring dari Semarang, dalam forum diskusi yang diselenggarakan organisasi buruh internasional ILO, ILOAIDS, Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Kesehatan, Selasa (3/11). Diskusi ini mengupas tema dengan nada bertanya: Mengapa Kekerasan dan Kerentanan HIV/AIDS masih Membelenggu Pekerja Perempuan?
Pertanyaan itu sebagian dijawab oleh pernyataan Nur Arifin, terkait perbincangan terkait HIV/AIDS yang masih tabu bagi pekerja. Karenanya sejak 2013 mereka bekerja sama dalam program Better Work Indonesia (BWI), yang merupakan kerja sama antara ILO dan International Finance Corporation (IFC).
Sejak itulah, perusahaan memandang pentingnya sosialisasi tentang HIV/AIDS bagi pekerja mereka. Poster-poster dipasang di setiap unit kerja, sosialisasi audio disampaikan melalui pengeras suara di lingkungan pabrik, pelatihan rutin dilakukan, termasuk pemeriksaan kesehatan bagi pekerja, seperti papsmear. Secara khusus, perusahaan dan BWI membuat program Her Project yang menangani isu ini. Dari 14 ribu lebih pekerja di perusahaan tersebut, 95 persen adalah perempuan.
Prevalensi Kekerasan Tinggi
Shelly Woila dari BWI menyebut, proyek mereka memang berkonsentrasi untuk memperbaiki kondisi kerja sektor garmen. Ada lebih dari 200 perusahaan garmen ekspor dengan lebih dari 300 ribu pekerja ada dalam program ini di lima provinsi, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Program ini menitikberatkan upaya pencegahan itu dengan membangun kondisi kerja yang dipenuhi rasa hormat. Dengan begitu, tindak pelecehan yang banyak terjadi di perusahaan garmen dapat ditekan. Shelly mengungkap, sektor ini mencatatkan prevalensi tindak pelecehan seksual yang cukup tinggi, tidak hanya di Indonesia. Di Vietnam, studi mencatat 43,1 persen pekerja garmen perempuan mengalami pelecehan, sedangkan di Kamboja dialami oleh satu dari tiga pekerja.
BACA JUGA: Komunitas adalah Kunci Memerangi HIV/AIDS“Di Indonesia sendiri tahun lalu ada survei yang dilakukan oleh Never Okay Project. Dia mensurvei 1.240 responden, 81 persennya menyatakan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, secara umum, bukan di garmen saja, termasuk perempuan dan laki-laki,” ujar Shelly.
Di samping itu, menurut survei Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dan Perempuan Mahardika, dari 15 perusahaan garmen, 56 persen pekerja perempuan di sana menyatakan pernah mengalami tindak pelecehan seksual.
Beberapa penyebab pelecehan dan kekerasan seksual antara lain adalah lingkungan kerja yang penuh target, relasi kuasa dan norma serta sikap. Untuk menekannya, BWI dan perusahaan membentuk Tim Respect di setiap lokasi, yang menjadi motor pelaksanaan penghapusan kekerasan seksual. Tim merupakan gabungan dari pekerja dan manajemen, sehingga diharapkan programnya berkelanjutan.
Early Dewi Nuriana, ILO Project Officer-HIV/AIDS, mengatakan organisasi itu telah memiliki Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi ILO 260 tentang kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Standar internasional ini menjadi dasar promosi antikekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
“Secara prinsip-prinsip dasarnya, dia mengadopsi pendekatan inklusif, terintegrasi, yang responsif gender. Melindungi semua sektor, formal maupun informal, baik di kota maupun juga di desa, karena kita tidak lagi melihat pekerjaan hanya formal dan ada di kota,” kata Early.
Organisasi ini juga memiliki Rekomendasi ILO 200 tentang HIV AIDS di dunia kerja. Upaya pencegahan menjadi perhatian utama, dengan konsentrasi program pada sektor yang beresiko seperti perusahaan dengan mayoritas pekerja perempuan dan pekerja migran. ILO mendorong kebijakan nondiskriminasi, kerahasiaan status dan akses layanan kesehatan bagi pekerja dengan HIV/AIDS. Selain itu, diupayakan juga kelanjutan hak kerja dan dukungan yang memadai bagi mereka. ILO juga menilai, kekerasan berbasis gender dapat meningkatkan kerentanan HIV.
Your browser doesn’t support HTML5
Stigma dan Balutan Kekerasan
Baby Rivona Nasution dinyatakan positif HIV sekitar 17 tahun lalu ketika dia bekerja di luar negeri, melalui pemeriksaan kesehatan rutin untuk memperpanjang visa. Baby mengaku bingung ketika itu, karena kurangnya informasi. Dia juga kehilangan pekerjaan dan kemudian pulang ke tanah air. Saat ini, Baby adalah Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI). Salah satu yang dia kampanyekan adalah tempat kerja yang tidak diskriminatif, khususnya bagi perempuan dengan HIV.
"Saya banyak bekerja untuk para perempuan yang hidup dengan HIV, sama seperti saya, dari berbagai latar belakang,” ujar Baby.
Sebagai perempuan dengan HIV, Baby tentu paham bahwa hidupnya akan diwarnai dengan stigma dan diskriminasi, baik dari layanan dan keluarga. Semua itu masih dirasakan sampai hari ini. Namun, ternyata, dalam aktivitasnya bersama IPPI Baby menemukan fakta bahwa diluar semua tindakan itu, perempuan dengan HIV juga masih mengalami kekerasan.
“Buat IPPI sendiri itu sangat mengejutkan, karena pertama kita sudah menghadapi stigma atau diskriminasi dari segala arah, tapi ternyata ada juga kekerasan. Ini apa lagi, gitu loh. Akhirnya kita membuat semacam studi kecil di delapan kota dan kita mengambil data, kekerasan seperti apa sih yang dialami oleh perempuan yang sudah terinfeksi HIV tersebut,” kata Baby.
Kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia banyak terjadi, dan perempuan karena berbagai faktor, sulit keluar dari situasi itu, misalnya karena keberadaan anak. Kondisinya akan semakin berat bagi perempuan dengan HIV. Akan semakin buruk lagi, pada kasus tertentu, misalnya ketika perempuan itu ternyata penah mengalami sterilisasi paksa. Akhirnya, perempuan dalam kondisi itu menganggap sudah tidak ada jalan keluar lagi bagi kondisi yang menjeratnya.
IPP kemudian melakukan survei di delapan kota di Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Sumatera Utara, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Ada 77 responden perempuan dengan HIV, terutama yang menjadi anggota IPPI. Usia responden antara 18-53 tahun, mayoritas berpendidikan SLTA. Dari 77 orang itu, 32 orang berstatus menikah dan 31 perempuan berstatus cerai mati. Mayoritas, yaitu 71 orang, merupakan pengguna narkotika dan zat adiktif lainnya (Napza).
Dari survey itu, IPPI merekomendasikan adanya layanan rujukan bagi korban kekerasan, khususnya pada perempuan dengan HIV, yang mudah dan bersahabat untuk diakses. Dibutuhkan pula sebuah wadah atau grup pendukung sebagai upaya memperoleh informasi, meningkatkan pengetahuan dan proses pemulihan. Bantuan hukum bagi perempuan dengan HIV dan pendampingan psikologis yang berperspektif korban juga dibutuhkan. [ns/ab]