Puluhan pelajar SMA Katolik St. Hendrikus Surabaya, Rabu (28/8) sore, mengunjungi salah satu kampung tertua di Surabaya, yaitu kampung Tambak Bayan, yang terletak tidak jauh dari monumen Tugu Pahlawan, Surabaya.
Di kampung itu mereka berinteraksi dengan warga yang mayoritas etnis Tionghoa, namun secara ekonomi mereka hidup di bawah garis kesejahteraan. Hal itu kontras dengan stigma yang dilekatkan pada masyarakat etnis Tionghoa, bahwa mereka merupakan kelompok elit dan dari golongan ekonomi atas.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kami mengajak anak-anak kami ke sini untuk melihat bahwa, ternyata Tionghoa itu juga ada yang super minoritas, secara ekonomi juga minoritas," papar Michael Andrew, salah seorang guru pendamping dari SMA Katolik St. Hendrikus Surabaya.
"Di sini juga masih ada sembahyangan yang agamanya juga minoritas, agama Konghucu, dan kehidupannya unik,” tambahnya.
Para pelajar itu menyusuri gang-gang sempit di kampung pecinan Tambak Bayan, dan melihat secara langsung kehidupan sehari-hari warga etnis Tionghoa yang telah berasimilasi dengan warga etnis lain.
Wiwin, salah seorang siswi mengatakan, kehidupan masyarakat di kampung ini menggambarkan interaksi yang menghargai perbedaan dan menghormati satu sama lain, meski dari etnis dan latar belakang sosial budaya yang berbeda.
“Mereka sangat-sangat erat ya. Rukun sekali, meskipun dari suku Jawa, dari suku Tionghoa. Ada juga yang Batak. Mereka tetap mau bersatu, mau menghargai, mau berkegiatan satu sama lain. Mereka pernah waktu itu ibadah bersama di sini dalam rangka merayakan Chinnes New Year,” ujar Wiwin.
Tirza, seorang siswi yang lain menuturkan, meski hidup dengan ekonomi terbatas, masyarakat di kampung pecinan Tambak Bayan tampak menjalani kehidupan tanpa beban.
BACA JUGA: TPS Bhinneka Tunggal Ika di Surabaya, Bawa Pesan Persatuan dan PerdamaianMereka saling berbagi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya menggunakan fasilitas mandi dan dapur secara bersama-sama. Masyarakat di kampung pecinan Tambak Bayan hidup bahagia karena menganggap tetangganya adalah seperti keluarga sendiri.
“Tingkat kebahagiaan mereka lebih tinggi dari pada orang-orang di perkotaan, yang tinggal di daerah perumahan,” ujar Tirza sambil memuji toleransi di kawasan itu. Pasalnya, meski beragam suku, masyarakat tetap mempertahankan budaya Tionghoa.
“Walaupun keadaannya rumahnya yang sempit, atau dapurnya yang terbatas, mereka tetap bahagia. Karena hubungan antara tetangga dengan tetangga yang lain itu benar-benar erat, dan mereka itu tetangga-tetangga di kampung ini, itu sebagai keluarga mereka sendiri,” katanya.
Warga kampung pecinan Tambak Bayan, Danny Sumanjaya mengatakan, pengenalan terhadap sejarah dan realitas kehidupan masyarakat Tionghoa sangat penting untuk diketahui generasi muda sejak dini. Hal itu untuk menunjukkan bahwa masyarakat Tionghoa Indonesia juga memiliki peran dan tugas yang sama dengan etnis lain, untuk memajukan bangsa Indonesia.
“Di sini kan banyak asimiliasi. Juga kita bergaul dengan banyak sekali masyarakat yang lain, bahkan pertempuran 10 November, Tugu Pahlawan pun kita juga dulu ikut serta. Jadi kita tanamkan, kita perlihatkan pada mereka bahwa benar ada sejarah ini,” kata Danny.
Michael Andrew menambahkan, pembelajaran realitas sosial ini diharapkan juga dipahami oleh masyarakat, sehingga mampu melihat sesama warga negara dari berbagai etnis dan sosial budaya yang berbeda sebagai satu derajat kemanusiaan.
“Harapan kami kepada masyarakat juga, untuk melihat bahwa realitas sosial kita tidak hanya ‘oh iya orang Tionghoa seperti begini, orang Jawa begini.’ Kita semua sama. Kita ini adalah Indonesia," kata Michael.
"Pesannya juga bisa melihat bahwa secara sosial ternyata kita meskipun secara ekonomi mungkin berbeda, tetapi kita juga sesama manusia yang harus dilihat setara, dilihat kemanusiaannya,” pungkasnya. [pr/ft]