Seperti juga pengajar lain di Indonesia, Muslam Hadiwiguna Putra harus menggelar kelas daring gara-gara pandemi virus corona sejak tiga bulan lalu. Budayawan asal Cilacap ini telah lima tahun mengabdikan diri untuk mengajar di berbagai sekolah. Mereka kelompok siswa yang “istimewa”, karena dipertemukan dengan Muslam, dalam kaitan sebagai sesama penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
“Kami adalah penyuluh sebenarnya di sekolah. Penyuluh boleh di dalam kelas dan di masyarakat. Karena penyuluh dasar hukumnya tidak harus berpendidikan formal, tetapi menguasai ilmunya atau ahlinya. Akhirnya sampai sekarang boleh masuk ke kelas, kita sudah meluluskan dua periode untuk kelulusan anak,” kata Muslam kepada VOA.
Guru membutuhkan sejumlah syarat formal untuk berkiprah di sekolah. Salah satunya adalah gelar kesarjanaan dalam bidang yang diajar. Sampai saat ini, tidak ada perguruan tinggi yang membuka jurusan penghayat kepercayaan. Karena itulah, tidak tersedia guru bagi siswa penghayat di sekolah.
Totalitas Pengabdian dan Keikhlasan
Meski secara resmi tidak disebut guru,Muslam memiliki peran yang sama. Ada sekitar 50 siswa penghayat di tujuh SMA/SMK, lima SMP dan empat SD di wilayah Cilacap dengan 12 penyuluh. Bersama rekan sesama penyuluh, Muslam membagi kabupaten di pesisir selatan Jawa Tengah itu dalam tiga zona, yaitu timur, tengah dan barat. Mereka bertanggung jawab mengajar siswa SD, SMP dan SMA sejak tahun 2015 dan ketika itu dimulai dari dua siswa.
Tanggung jawab besar itu hanya berbalas ucapan terimakasih dari para siswa. Negara belum memberikan penghargaan materi, begitu pula sekolah yang tidak mungkin menyisihkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk memberi honor. Karena itulah, kata Muslam, bekal utama para penyuluh untuk terus mengajar di berbagai sekolah adalah rasa ikhlas.
Namun, ada sisi lain dalam perjuangan ini yang membuat mereka bertahan. Mereka menganggap para siswa itu adalah generasi penerus yang akan mewarisi ajaran penghayat seperti yang diajarkan para leluhur sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu.
“Karena sejak lama dimarjinalkan, sehingga yang paling utama sekali bagi kita adalah penerus, atau regenerasi. Kebetulan pemerintah sudah memberikan payung hukum untuk perkembangan generasi kita ke depan, satu-satunya yang formal adalah melalui sekolah,” kata Muslam.
Your browser doesn’t support HTML5
Kelas penghayat, meski sudah berjalan lima tahun, masih memiliki “daya tarik” tersendiri bagi sivitas lain, baik guru maupun siswa. Muslam menceritakan, pandangan penuh selidik adalah hal biasa ditemui ketika pelajaran mereka berlangsung. Siswa penghayat kadang juga masih menerima komentar tertentu, yang menggambarkan kurangnya pemahaman mengenai penghayat di lingkungan sekolah. Tidak mengherankan, butuh upaya luar biasa agar para siswa ini bangga menyebut diri sebagai penghayat di tengah kawan-kawannya yang menganut agama mayoritas.
Integral dengan Kurikulum
Apa yang terjadi pada Muslam dan siswa-siswanya di Cilacap, juga terjadi di Yogyakarta. Kuswijoyo Mulyo adalah penghayat yang diberi kepercayaan sebagai koordinator untuk empat penyuluh. Tidak seperti di Cilacap, jumlah siswa yang mengikuti pelajaran penghayat di sekolah hanya sekitar tujuh orang. Kuswijoyo bercerita, sejumlah oknum di sekolah belum bisa menerima kenyataan bahwa siswa penghayat berhak atas pelajaran sesuai keyakinannya.
“Kurikulum, silabus, dan lainnya tidak ada masalah. Tantangan besarnya seberapa jauh keterbukaan sekolah terbuka bagi setiap siswa atau siapapun yang akan mengambil penghayat kepercayaan. Kalau negara sudah cukup terbuka, cukup baik memberikan pelayanan untuk pendidikan,” kata Kuswijoyo.
Proses besar yang masih harus diperjuangkan, kata Kuswijoyo adalah agar pelajaran penghayat ini masuk secara integral ke dalam kurikulum nasional. Langkah besar ini memungkinkan setiap daerah di Indonesia secara sama memberikan pelayanan pelajaran bagi penghayat kepercayaan. Dalam posisi ideal ini, pelajaran penghayat kepercayaan akan memiliki kesetaraan dengan pelajaran agama yang sudah diajarkan selama ini.
Dalam beberapa kesempatan, kata Kuswijoyo, mereka didatangi oleh sejumlah siswa yang mengaku ingin mempelajari ajaran para leluhur ini. Mereka datang dari berbagai macam latar belakang, termasuk agama yang berbeda-beda. Niat itu terbentur oleh kewajiban untuk mendiskusikan pilihan tersebut dengan orang tua siswa, dan iklim sekolah yang kadang kurang kondusif. Karena itulah, jumlah penghayat kelompok usia muda jumlahnya tidak terlalu besar di Yogyakarta.
Hingga saat ini, para siswa penghayat menerima pelajaran dengan buku yang disusun bersama oleh 187 paguyuban kepercayaan di Indonesia. Mereka bergabung dalam Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Lembaga ini, selain mengkoordinasi penyusunan buku, juga berperan dalam menyediakan penyuluh di sekolah.
“Kami sudah sepakat untuk merumuskan bersama, dan hasilnya dituangkan dalam bentuk buku ajar ini,” tambah Kuswijoyo.
Meneguhkan Eksistensi
Penghayat kepercayaan memiliki sejarah panjang di Indonesia. Eksistensinya, kata Prof Al Makin, berkaitan erat dengan kondisi politik. Al Makin adalah Guru Besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dia menulis sejumlah buku seperti Nabi-Nabi Nusantara, Keragaman dan Perbedaan: Budaya dan Agama dalam Lintas Sejarah Manusia, dan Membela yang Lemah demi Bangsa dan Ilmu. Dalam catatannya, ada sekitar 1.300 paguyuban atau kelompok kepercayaan di Indonesia dengan kurang lebih 10 juta pengikut.
“Jumlah pastinya sulit diperoleh, karena mereka belum tentu bersedia mengaku, dan di KTP memilih untuk menulis agama sesuai yang secara formal diakui negara, yang enam itu,” kata Al Makin kepada VOA.
Menurut catatan Al Makin, di masa Orde Lama, kepercayaan lokal tumbuh subur dan memiliki tempat di Indonesia. Setelah tahun 1965, komunitas ini pelan-pelan menurun eksistensinya karena sering menerima tuduhan sebagai penganut komunis. Soeharto berupaya memanfaatkan keberadaan dan pengaruh mereka di era Orde Baru. Untuk mengelolanya, dia mendirikan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan.
Pasca Reformasi, penghayat kepercayaan kembali menemukan kebebasan untuk menjalankan keyakinan. Namun di sisi lain, tumbuh pula ruang bagi kelompok lain untuk melakukan intimidasi. Tonggak besar diperoleh pada 2017, ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penghayat dapat memasukkan kepercayaannya ke dalam KTP.
Namun, kata Al Makin, kemajuan luar biasa itu lebih banyak hadir secara administratif. Di lapangan, butuh perjuangan panjang untuk mencapai tahap ideal. Di sektor pendidikan, kata Al Makin, kondisinya bahkan masih jauh dari harapan.
“Pendidikan kita mulai SD sampai perguruan tinggi, tidak mengarah kepada kurikulum keberagaman. Agama di pendidikan kita eksklusif, agama formal. Jadi, kemajuannya ada di level hukum nasional dan politik, tetapi dalam level praksis di masyarakat dan pendidikan masih jauh. Perlu reformasi luar biasa di dua kementerian, yaitu Kemendikbud dan Kementerian Agama,” tambah Al Makin.
Menurut akademisi yang konsen pada agama-agama asli Indonesia ini, idealnya pendidikan agama di sekolah membuka ruang belajar mengenai agama atau kepercayaan lain. Dengan demikian, kelas menjadi ruang dimana siswa belajar memahami perbedaan. Tidak hanya agama resmi yang harus diperkenalkan, tetapi juga aliran kepercayaan. Dengan begitu, terjalin dialog saling memahami, untuk membangun toleransi di tingkat sekolah.
Penghayat kepercayaan, tambahnya, juga harus lebih tampil di masyarakat. “Mereka harus berani bersuara, dan kita harus berani mendukung mereka. Butuh keberanian. Suarakan kepentingan mereka pada pemerintah. Kita sebagai intelektual, peneliti, warga negara, harus mendukung mereka. Penghayat kepercayaan harus memiliki daya tawar,” tegas Al Makin.
Angin segar yang dihembuskan negara bagi penghayat kepercayaan di tanah air memberi ruang besar sebagai payung hukum. Namun, praktiknya di lapangan butuh perubahan di banyak sektor. Perubahan ini patut diapresiasi, dalam bentuk dorongan bagi penghayat kepercayaan untuk menuntaskan perjuangan mereka. Tidak hanya di sektor pendidikan, tetapi juga juga banyak sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. [ns/ab]