Kebebasan beragama dan berkeyakinan masih menjadi persoalan di Indonesia. Setidaknya ini terlihat dari hasil kajian Setara Institute for Democracy and Peace.
Dalam jumpa pers yang dilakukan di kantornya di Jakarta, Senin (20/8), Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak melakukan terobosan dalam menyelesaikan beragam kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Bonar mencontohkan sampai sekarang sudah berkali-kali jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin dan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia melakukan misa di depan istana negara. Dia menambahkan meski kedua gereja sudah memenangkan kasasi, tetap saja tidak bisa mendirikan rumah ibadah di tempat asal.
Bonar juga menyebutkan pemerintah hingga kini juga belum bisa menyelesaikan kasus para pengungsi Syiah dari Sampang, Madura yang masih tinggal di rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur, dan pengungsi Ahmadiyah di Mataram, Lombok Barat, serta Lombok Timur.
"Kepentingan elektoral sangat menonjol. Itu sebabnya kenapa hampir tidak ada inisiatif dari pemerintah-pemerintah daerah untuk menyelesaikan kasus-kasus kebebasan beragama karena mereka ingin meraih dan memelihara dukungan dari mayoritas. Kelompok-kelompok intoleran itu mereka akomodir tuntutannya dengan dasar misalnya keamanan, stabilitas," ungkap Bonar.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara, Direktur Setara Institute Halili Hasan mengatakan, selama semester pertama tahun ini, terdapat 109 peristiwa pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 136 tindakan. Dia mengatakan tindakan jumlahnya selalu lebih besar dari peristiwa. Sebab dalam satu peristiwa kadang ada lebih dari satu tindakan pelanggaran.
Halili menekankan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan pada paruh pertama tahun ini meningkat ketimbang periode serupa tahun lalu. Dia mengungkapan selama Januari hingga Juni 2017, terdapat 80 peristiwa pelanggaran dengan 99 tindakan pelanggaran.
Lebih lanjut Halili menjelaskan selama semester pertama tahun ini, pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi di 20 provinsi, paling banyak di Jakarta. Halili menegaskan sepanjang sebelas kali riset serupa sebelumnya, baru kali ini Jawa Barat terlempar dari posisi pertama.
Halili menjelaskan ada dua aktor dalam pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, yakni aktor negara dan non-negara. Dia mengatakan dari 136 tindakan pelanggaran, ada lima kategori tindakan pelanggaran paling banyak dilakukan oleh aktor negara, yakni kriminalisasi (7), diskriminasi (5), intoleransi (4), pelarangan cadar (3), pelarangan peringatan Valentine (3), dan pengusiran (2).
Aktor negara paling banyak melakukan tindakan pelanggaran, lanjut Halili, adalah kepolisian (14), pemerintah daerah (12), dan lembaga pendidikan (5). Sedangkan aktor non-negara melakukan 90 tindakan pelanggaran.
Halili mengatakan ada lima aktor non-negara paling banyak melakukan tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, yaitu individu (25 tindakan), kelompok warga, Majelis Ulama Indonesia, dan orang tidak dikenal (masing-masing sembilan tindakan), serta Forum Umat Islam (4 tindakan).
Presiden Jokowi mengatakan telah memerintahkan aparat untuk bertindak tegas kepada mereka yang melakukan tindakan intoleransi apalagi dengan cara kekerasan.
"Tidak ada tempat bagi mereka yang tidak mampu bertoleransi di negara Indonesia apalagi dengan cara-cara kekerasan, berujar saja tidak apalagi dengan cara kekerasan," tandas Jokowi.
Staf Ahli Presiden Ifdal Kasim mengatakan pemerintah sangat serius dalam mengatasi persoalan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk persoalan GKI Jasmin. [fw/ii]