Setara Institute for Democracy and Peace merilis catatan mengenai peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan selama periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dalam penjelasannya, Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan sepanjang periode perdana pemerintahan Joko Widodo, sejak 1 November 2014 hingga 31 Oktober 2019, telah terjadi 846 peistiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 1.060 tindakan. Artinya, setiap bulan terjadi 14 peristiwa dengan 18 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam lima tahun terakhir.
Halili mengingatkan peristiwa pasti lebih sedikit dari tindakan karena dalam sebuah peristiwa bisa ada dua atau lebih tindakan.
Setara Institute mencatat dalam lima tahun belakangan, Jawa Barat dan Jakarta memuncaki daftar sepuluh provinsi dengan peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan terbanyak.
"Yang pertama sang juara umum, hampir tak pernah tergantikan, meskipun ada penurunan di 2019. Dalam periode Pak Jokowi, yang pertama Jawa Barat menjadi tempat bagi terjadi 154 peristiwa (pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Kemudian DKI Jakarta 114 (peristiwa)," kata Halili.
BACA JUGA: Posisi Tiga Terbawah, Jabar Gugat Metode Indeks KerukunanJawa Timur menempati posisi ketiga sebagai provinsi paling banyak terjadi peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 92 peristiwa. Disusul Aceh (69 peristiwa), Jawa Tengah (59 peristiwa), Yogyakarta (38 peristiwa), Banten (36 peristiwa), Sulawesi Selatan (31 peristiwa), Sumatera Utara (28 peristiwa), dan Sumatera Barat (19 peristiwa).
Pelaku pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan tertinggi adalah aktor non-negara dengan 613 tindakan dan aktor negara 447 tindakan. Aktor non-negara paling banyak melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan adalah kelompok warga (171 tindakan), disusul ormas keagamaan (86 tindakan), dan individu (71 tindakan). Sedangkan aktor negara paling banyak melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan adalah pemerintah daerah (157 tindakan), kepolisian (98 tindakan), dan institusi pendidikan (35 tindakan).
Korban terbanyak dalam pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan adalah individu (193 peristiwa), warga (183 peristiwa), umat Nasrani (136 peristiwa).
Selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo, gereja paling sering diganggu (51 gangguan), disusul masjid (27 gangguan), dan rumah ibadah kepercayaan (22 gangguan).
Halili menambahkan Setara Institute merekomendasikan sebelas agenda kunci yang mesti diprioritaskan oleh pemerintah, antara lain pemerintahan yang inklusif, penghapusan regulasi kementerian yang diskriminatif, revisi peraturan bersama dua menteri mengenai pendirian rumah ibadah dan Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, serta penghapusan regulasi lokal yang diskriminatif.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Musdah Mulia menjelaskan yang perlu dilakukan sekarang ini adalah membangun kesadaran baru tentang makna kebebasan beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurutnya, terdapat ketidaksepahaman antara kelompok masyarakat sipil dengan pemerintah atau pengambil kebijakan mengenai makna intoleransi.
"Upaya atau penegasan hak kebebasan beragama maknanya adalah upaya penghapusan semua bentuk intoleransi dan diskriminasi berbasis agama dan kepercayaan," ujar Musdah.
Musdah menekankan terdapat persoalan mendasar dalam Pasal 28j ayat 2 Undang-undang Dasar hasil amandemen yang membolehka n pembatasan kalau melanggar nilai-nilai agama. Dia menambahkan pasal tersebut menjadi dasar lahirnya peraturan-peraturan daerah yang bersikap diskriminatif.
Dia juga mempersoalkan pemahaman sebagian besar masyarakat bahwa sesuai Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, warga negara Indonesia wajib beragama dan siapa saja tidak beragama melanggar hukum, bertentangan dengan Pancasila, dan konstitusi.
BACA JUGA: Pakar: Untuk Perkuat Toleransi, FKUB Perlu PerpresPresiden Joko Widodo mengatakan konstitusi telah menjamin kebebasan beragama. Menurutnya pemerintah tidak memberikan tempat kepada orang-orang yang melakukan intoleransi.
“Tidak ada tempat bagi mereka yang tidak mampu bertoleransi di negara kita, apalagi dengan cara-cara kekerasan”ujar Jokowi.
Juru Bicara Pemerintah DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia ketika dihubungi VOA untuk dimintai tanggapannya, tidak menjawab. [fw/em]