Beberapa ribu staf MSF bekerja keras untuk mengobati korban virus mematikan itu di Liberia, Sierra Leone dan Guinea. Tidak hanya di lapangan, MSF juga memainkan peran sangat penting di tempat-tempat yang berjarak ribuan kilometer dari episentrum wabah Ebola – yakni di Eropa – dengan mendirikan pusat-pusat pelatihan penanggulangan Ebola.
Kelompok Doctors Without Borders (MSF) membuka tiga pusat pelatihan untuk mengajar staf dan pekerja kemanusiaan tentang bagaimana membantu korban Ebola, sekaligus melindungi diri sendiri dari penyakit yang tahun ini telah menewaskan lebih dari 6.000 orang itu.
Kini banyak diantara kita mengenali pakaian warna kuning mirip pakaian astronot yang dikenakan oleh para pekerja Ebola. Reporter VOA Lisa Bryant mencoba menyaksikan dan mencoba sendiri pakaian itu, berikut celemek karet dan dua pasang sarung tangan, tutup kepala, kacamata khusus dan sepatu bot. Ia mengatakan, banyak orang harus berjuang memakai alat pelindung diri itu.
Bahkan satu sentimeter saja kulit yang tidak tertutup pakaian khusus itu bisa berarti kematian jika yang bersangkutan bersentuhan dengan korban Ebola. Itulah bahaya yang dihadapi para dokter, perawat, ahli kekesehatan dan pekerja logistik.
Pusat pelatihan yang dikunjungi oleh Lisa Bryant itu berada di sebuah tenda jauh dari pusat wabah di Afrika Barat yang bersuhu panas. Pusat itu terletak di kemah yang didirikan di lapangan luas berlumpur di kota Brussels.
Kaki langit di musim dingin saat ini dihiasi pabrik-pabrik dan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Dioperasikan oleh “Dokter Tanpa Batas” atau MSF, pusat ini seperti layaknya sebuah tempat penggemblengan dasar bagi ratusan pekerja kemanusiaan yang bergabung dalam upaya memerangi virus mematikan itu.
“Ini seperti pelatihan persiapan. Kami ingin memastikan bahwa mereka mengerti apa itu Ebola, bagaimana mereka dapat tetap aman dan bagaimana mereka bisa membuat orang lain aman. Tentu, mereka harus memahami tanggapan secara umum terhadap wabah Ebola, dan mengerti bahwa itu membutuhkan kerja sama tim di semua tingkatan, mulai dari kerja dari hari ke hari di sebuah pusat pengobatan, sampai respon yang terkoordinasi secara keseluruhan. Tanpa itu semua, kita tidak akan menang dalam perang melawan wabah ini,” demikian ungkap Brett Adamson, salah seorang perawat yang memberikan pelatihan di pusat itu.
Perawat Brett Adamson menjadi fasilitator sesi pelatihan Ebola yang dimulai di pusat itu pada bulan Agustus. Mereka yang mengikuti lokakarya itu tidak hanya staf MSF, tetapi juga termasuk pegawai pemerintah dan pekerja kemanusiaan dari lembaga-lembaga lain. Organisasi nirlaba itu baru-baru ini membuka dua pusat pelatihan lainnya, satu di Swis dan satunya lagi di Belanda, untuk memenuhi permintaan yang semakin besar.
Selain pelajaran mengenakan alat pelindung, para peserta pelatihan itu belajar bagaimana dengan aman mengambil sampel darah pasien dan membuang seprai kotor bekas pasien Ebola, yang mungkin telah muntah atau mengalami diare.
Tenda tempat pelatihan itu berpelengkap seperti rumah sakit sesungguhnya, dengan kamar-kamar yang diperuntukkan bagi orang-orang yang diduga atau dipastikan mengidap Ebola. Bahkan ada bagian bertanda “kamar mayat” bagi banyak pasien yang tidak bertahan hidup.
Pelatih MSF Mathias Kennes berbicara berdasarkan pengalaman. Dia pernah bekerja di pusat-pusat Ebola yang didirikan dan dikelola oleh MSF di Guinea dan kemudian di Liberia. Dia telah menyaksikan begitu banyak kematian dan kisah sukses yang langka mengenai pasien yang bisa berhasil sembuh.