Peluang Khilafah di Indonesia Sudah Tidak Ada

Para pendukung dan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengadakan aksi protes menentang keputusan Presiden Joko Widodo untuk membubarkan HTI, di Jakarta 18 Juli 2017 (foto: ilustrasi).

Sistem negara berdasar agama atau teokrasi di Indonesia dinilai sudah tidak mampu lagi menggeser Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia Hamdi Muluk menilai peluang negara teokrasi muncul di Indonesia sudah tidak ada. Menurut Hamdi, berdasar sejumlah penelitiannya, nasionalisme warga Indonesia cukup kuat. Hanya, ujarnya, saat ini yang kurang yaitu minimnya kesadaran warga Indonesia dalam menjalankan kewajiban. Karena itu, perlu peningkatan kesadaran warga negara tentang kewajiban tersebut.

"Jadi kalau ada yang mengatakan, apakah kita mau mengotak-atik lagi itu tidak. Apalagi mau ada khilafah Islam atau khilafah Kristen, mungkin saja ada atau misalnya Indonesia mau dibelah lagi, tidak," ungkapnya.

Hamdi menilai perdebatan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan teokrasi tidak diperlukan lagi. Menurutnya, saat ini yang perlu diatur yaitu bagaimana pengelolaan pemerintah, utamanya dalam mencari format otonomi daerah yang ideal dengan kondisi kekinian.

Dari kiri ke kanan: Direktur KPPOD Robert Endi Jaweng, Hamdi Muluk, Hasudungan Sirait (moderator), Presiden PKS Sohibul Iman, Dosen UBK Ade Reza Hariyadi (Foto: VOA/A.Bahagaskoro).


Pernyataan Hamdi Muluk didukung Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman. Ia juga membantah tudingan bahwa partainya mendukung negara teokrasi atau khilafah.

"Anda tinggal baca saja dokumen resmi PKS, di AD ART, platform, perjuangan PKS. Di sana sangat jelas sekali bahwa visi PKS adalah ingin menjadi partai terdepan dalam mewujudkan cita-cita nasional seperti yang termaktub dalam UUD 1945," jelasnya.

BACA JUGA: Pakar Islam: Tidak Ada Bendera Tauhid

Sohibul menambahkan masyarakat juga tidak perlu khawatir dengan kelompok Islam. Menurutnya kelompok Islam juga sudah setuju dengan demokrasi di Indonesia. Salah satu buktinya yaitu 17 poin hasil pakta integritas Ijtima Ulama jilid II yang ditandatangani calon presiden Prabowo Subianto bersifat umum, tidak ada yang Islami.

Terkait otonomi daerah, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mencatat ada 2 persoalan yaitu munculnya peraturan daerah (perda) yang berdasar agama dan korupsi kepala daerah. Menurutnya, perda yang berdasar agama tersebut cukup mengkhawatirkan karena akan membuat tidak adil masyarakat yang berbeda agama.

Sementara untuk korupsi, Direktur KPPOD, Robert Endi Jateng mencatat, sepanjang 2015-2018 ada 348 kasus korupsi yang menjerat kepala daerah di berbagai daerah. 211 di antaranya menjerat bupati.

Your browser doesn’t support HTML5

Peluang Khilafah di Indonesia Sudah Tidak Ada


"Kalau bicara noda hitam, bicara musuh bersama yang di depan kita adalah korupsi. Kalau Presiden Jokowi mengatakan politik Sontoloyo, maka buat saya yang sontoloyo ini adalah para koruptor. Ini yang seharusnya menjadi musuh bersama kita karena desentralisasi digerus dan menggerus Indonesia," jelas Robert Endi Djaweng.

Robert mengatakan perlu ada gerakan sosial bersama dan perbaikan sistem politik untuk mengatasi persoalan korupsi di berbagai daerah di Indonesia. [Ab/em]