Aktivis perempuan sekaligus pemimpin redaksi Magdalene, Devi Asmarani, mengatakan media di Indonesia masih bias gender saat melakukan kerja jurnalistik. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian Tempo Institute bersama Pusat Data dan Analisis Tempo pada 2018.
Menurut hasil penelitian tersebut hanya 11 persen atau sekitar 2.500an narasumber perempuan dari hampir 23 ribu narasumber yang dikutip media. Ada tujuh media cetak dan tiga media online yang menjadi obyek penelitian, yaitu Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Bisnis Indonesia, The Jakarta Post, Jawa Pos, Tempo.co, Kompas.com, dan Detik.com.
BACA JUGA: “Indonesia Tanpa Feminis,” Kritik atau Bunga Tidur?Menurut Devi, ada beberapa faktor yang mengakibatkan bias gender dalam pemberitaan media di Indonesia. Di antaranya, yaitu budaya patriarki yang ada di Indonesia dan kurangnya database narasumber perempuan di redaksi media di Indonesia.
"Jadi, terkadang narasumber yang memiliki kompetensi sama karena dia perempuan kurang dilirik. Kedua mungkin ada budaya di newsroom yang terbiasa supaya cepat, akhirnya narasumbernya itu-itu saja," tutur Devi di Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Devi juga masih menemui sejumlah diskusi yang narasumbernya laki-laki. Akibatnya, kata dia, narasumber yang dikutip media di Indonesia semuanya laki-laki. Atas dasar tersebut, Devi menyarankan para jurnalis dan redaksi media untuk keluar dari zona nyaman mereka guna mendorong kesetaraan gender di Indonesia.
"Saat ini memang ada juga narasumber perempuan, tapi isunya sebagian besar isu kesehatan dan perempuan. Tapi untuk isu-isu sains, keuangan, yang sebenarnya ada, tapi belum banyak dikutip," tambahnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Raisya Maharini, jurnalis perempuan di Jakarta, menuturkan telah memprioritaskan narasumber perempuan ketimbang laki-laki dalam beberapa tahun terakhir. Itu dilakukan dalam rangka menyetarakan narasumber perempuan dalam pemberitaan. Kendati demikian, Raisya tetap mempertimbangkan kelayakan narasumber tersebut sebagai sumber berita.
Hal tersebut berbeda ketika ia awal-awal menjadi jurnalis. Bahkan kata dia, editornya di salah satu media nasional pernah merekomendasikan mengganti narasumber perempuan dengan laki-laki dengan alasan kompetensi narasumber.
"Ketika mencari pengamat politik, kadang dari editor sering menyarankan ‘bapak atau mas itu saja’ yang merupakan representasi laki-laki. Jadi karena kurangnya kesadaran dan saran editor, bertambah lah ketidaksadaran itu," jelas Raisya.
Raisya mengatakan prioritas pemilihan narasumber perempuan bukan lah diskriminasi terhadap laki-laki. Sebab, fakta saat ini jumlah narasumber perempuan di media Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan narasumber laki-laki.
Sementara itu, Muhammad Irham, jurnalis laki-laki di Jakarta menuturkan pemahaman isu dan latar belakang narasumber menjadi pertimbangan dalam penentuan narasumber. Namun, menurutnya, dalam redaksi tempatnya bekerja sudah ada prosedur dan kesadaran bersama untuk memperhatikan komposisi narasumber perempuan dan laki-laki. Ini dilakukan karena secara tidak sadar saat mengangkat isu sering menggunakan narasumber laki-laki.
BACA JUGA: Konten Patriarkis BKKBN, 87 Organisasi Layangkan Surat Protes"Kita sebagai media punya peran mendorong ini agar suara-suara dari perempuan bisa masuk juga dalam pemberitaan. Ini menjadi basis terkait kesetaraan gender dalam pemberitaan," tuturnya.
Irham juga akan mengapresiasi ketika ada lembaga yang menyediakan narasumber perempuan di berbagai bidang bagi jurnalis untuk mengatasi bias gender dalam pemberitaan. Kata dia, database narasumber perempuan tersebut juga perlu dijaga kerahasiaannya sehingga tidak disalahgunakan pihak lain di luar jurnalis. [sm/ft]