Tentara Pembebasan Suriah mendapatkan dukungan teknologi dari warga yang tinggal di luar negeri untuk menyebarkan berita dari sisi mereka.
Seiring masih bergolaknya situasi politik di Suriah, kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Suriah mendapatkan dukungan teknologi dari anak-anak muda Suriah yang tinggal di luar negeri. Dua abang adik bahkan mempertaruhkan nyawa mereka untuk membantu pemberontak dalam apa yang mereka sebut “perang media” melawan pemerintahan Suriah.
Jalan dari perbatasan Turki ke Suriah merupakan jalur yang berbahaya. Tentara Turki berpatroli di satu sisi dan pasukan pemberontak Suriah berjaga di sisi lain, sehingga risiko tertangkap dalam konflik sangat tinggi.
Tapi Ayman Al Haddad, 29, warga Suriah yang tinggal di Turki, berani menanggung risiko tersebut.
“Saya harus mencari cara untuk masuk ke Suriah dan berbuat sesuatu untuk orang-orang yang telah dibunuh oleh [Presiden Suriah] Bashar Assad,” ujar Al Haddad. “Saya tidak dapat memanggul senjata, jadi saya membawakan mereka teknologi. Kita tidak hanya ada dalam peperangan bersenjata, namun juga dalam perang media dan dalam perang media ini kita perlu teknologi. Kita harus menggunakan teknologi.”
Al Haddad membantu aktivis-aktivis oposisi Suriah mengkomunikasikan kisah-kisah mereka ke luar negeri. Dalam salah satu perjalanannya ke Suriah, Al Haddad membawa telepon satelit dan komputer untuk Tentara Pembebasan Suriah, supaya mereka dapat mengirim gambar dan video.
Liputan media di Suriah terbatas pada siaran lembaga pemerintah. Laporan internasional tidak lengkap karena pemerintah Suriah tidak mengijinkan wartawan asing bergerak bebas, sehingga mereka meliput berita secara diam-diam.
Jadi, ujar Al Haddad, tergantung dari Tentara Pembebasan Suriah (FSA) untuk menceritakan kisah mereka.
“Mereka memerlukan liputan yang bagus dari media,” ujarnya. “Sampai sekarang media tidak melakukan hal itu. Mereka hanya meliput sebagian daerah Suriah.”
Adik Al Haddad, Abood, 18, tinggal dan bepergian dengan Tentara Pembebasan Suriah, mendokumentasikan peristiwa dari garis depan dan mengirimkan informasi itu kepada abangnya untuk didistribusikan.
Al Haddad mengatakan bahwa adiknya, yang terluka karena serangan hebat terhadap FSA, merupakan pahlawannya.
“Saat ini kita harus mendokumentasikan semua yang terjadi dalam revolusi ini,” ujarnya. “Semua orang yang dibunuh. Setiap perempuan yang tewas.”
Ia menambahkan bahwa Tentara Pembebasan Suriah harus mempublikasikan penderitaan mereka dan memberitahukan kurangnya pelatihan militer yang mereka miliki.
“Saya melihat bagaimana orang-orang pemberani ini tidak memiliki pengalaman dengan senjata dan peperangan. Padahal ini perang yang betul-betul terjadi,” ujar Al Haddad.
Ia bersumpah untuk melanjutkan perang media ini. “Saya akan terus membantu rekan senegara saya. Saya tidak punya pilihan. Saya harus melakukannya. Mereka adalah keluarga saya,” ujar Al Haddad. (VOA/Rudi Bakhtiar)
Jalan dari perbatasan Turki ke Suriah merupakan jalur yang berbahaya. Tentara Turki berpatroli di satu sisi dan pasukan pemberontak Suriah berjaga di sisi lain, sehingga risiko tertangkap dalam konflik sangat tinggi.
Tapi Ayman Al Haddad, 29, warga Suriah yang tinggal di Turki, berani menanggung risiko tersebut.
“Saya harus mencari cara untuk masuk ke Suriah dan berbuat sesuatu untuk orang-orang yang telah dibunuh oleh [Presiden Suriah] Bashar Assad,” ujar Al Haddad. “Saya tidak dapat memanggul senjata, jadi saya membawakan mereka teknologi. Kita tidak hanya ada dalam peperangan bersenjata, namun juga dalam perang media dan dalam perang media ini kita perlu teknologi. Kita harus menggunakan teknologi.”
Al Haddad membantu aktivis-aktivis oposisi Suriah mengkomunikasikan kisah-kisah mereka ke luar negeri. Dalam salah satu perjalanannya ke Suriah, Al Haddad membawa telepon satelit dan komputer untuk Tentara Pembebasan Suriah, supaya mereka dapat mengirim gambar dan video.
Liputan media di Suriah terbatas pada siaran lembaga pemerintah. Laporan internasional tidak lengkap karena pemerintah Suriah tidak mengijinkan wartawan asing bergerak bebas, sehingga mereka meliput berita secara diam-diam.
Jadi, ujar Al Haddad, tergantung dari Tentara Pembebasan Suriah (FSA) untuk menceritakan kisah mereka.
“Mereka memerlukan liputan yang bagus dari media,” ujarnya. “Sampai sekarang media tidak melakukan hal itu. Mereka hanya meliput sebagian daerah Suriah.”
Adik Al Haddad, Abood, 18, tinggal dan bepergian dengan Tentara Pembebasan Suriah, mendokumentasikan peristiwa dari garis depan dan mengirimkan informasi itu kepada abangnya untuk didistribusikan.
Al Haddad mengatakan bahwa adiknya, yang terluka karena serangan hebat terhadap FSA, merupakan pahlawannya.
“Saat ini kita harus mendokumentasikan semua yang terjadi dalam revolusi ini,” ujarnya. “Semua orang yang dibunuh. Setiap perempuan yang tewas.”
Ia menambahkan bahwa Tentara Pembebasan Suriah harus mempublikasikan penderitaan mereka dan memberitahukan kurangnya pelatihan militer yang mereka miliki.
“Saya melihat bagaimana orang-orang pemberani ini tidak memiliki pengalaman dengan senjata dan peperangan. Padahal ini perang yang betul-betul terjadi,” ujar Al Haddad.
Ia bersumpah untuk melanjutkan perang media ini. “Saya akan terus membantu rekan senegara saya. Saya tidak punya pilihan. Saya harus melakukannya. Mereka adalah keluarga saya,” ujar Al Haddad. (VOA/Rudi Bakhtiar)