Pemberontak Suriah: Proses Perdamaian Sia-Sia

Seorang pejuang Jaysh al-Sunna, yang bertempur di bawah komando pemberontak Jaish al-Fatah, mempersiapkan senjatanya di desa Aziziyah, tenggara kota Aleppo, Suriah, 17 Mei 2016 (Foto: dok).

Pembicaraan perdamaian putaran ketiga di Jenewa bulan lalu untuk mengakhiri perang enam tahun di Suriah macet, karena pemerintah dan oposisi masih berbeda pendapat mengenai isu-isu mendasar, termasuk mengenai nasib Presiden Assad.

Komandan pemberontak Suriah dan politisi oposisi mengakui revolusi bersenjata mereka terhadap Presiden Bashar al-Assad tidak dapat menang karena intervensi militer Rusia dan Iran. Tetapi mereka menegaskan bahwa rezim Assad juga tidak dapat melenyapkan mereka dan mengakhiri pemberontakan.

Konflik dengan kekerasan itu menyebabkan perpecahan di negara yang dikoyak perang tersebut, tanpa tanda-tanda solusi politik untuk mempersatukan kembali Suriah.

Di belakang layar, para diplomat Amerika menekan para perunding pemberontak agar setuju membentuk pemerintah transisi dengan Presiden Bashar al-Assad. Pemberontak menolaknya mentah-mentah.

Seorang anggota Komite Perundingan Tinggi (HNC) mengatakan kepada VOA bahwa pemerintah transisi tidak akan terbentuk dan proses perundingan merupakan kesia-siaan.

Pembicaraan perdamaian putaran ketiga di Jenewa bulan lalu untuk mengakhiri perang enam tahun di Suriah macet, karena pemerintah dan oposisi masih berbeda pendapat mengenai isu-isu mendasar, termasuk mengenai nasib Presiden Assad.

Oposisi menghentikan keikutsertaan mereka dalam pembicaraan itu setelah delegasi rezim Assad menolak membahas pembentukan dewan transisi, dan malah berpendapat bahwa wakil-wakil oposisi harus dimasukkan ke pemerintahan tanpa menyingkirkan Assad.

PBB menetapkan tenggat pembentukan pemerintah transisi pada bulan Agustus. Namun para diplomat Barat mengakui hal ini tidak realistic. [uh/ab]