Jajaran Pers Tanah Air Kecam Seruan Pemboikotan Media

  • Fathiyah Wardah

Seorang penjual koran di kaki lima di Jakarta membaca dagangannya sembari menunggu pembeli (foto: dok).

Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) dan Dewan Pers mempertanyakan seruan Sekretaris Kabinet Dipo Alam untuk memboikot media yang kritis terhadap pemerintah.

Kalangan pers mengecam seruan Sekretaris Kabinet Dipo Alam yang menyerukan pemboikotan media massa yang sering memberitakan kejelekan pemerintah. Selain itu, Dipo juga mengeluarkan instruksi kepada instansi pemerintah untuk tidak memasang iklan di media massa tersebut.

Alasan Dipo adalah dengan pemberitaan yang bersifat negatif, Indonesia akan selalu terkesan buruk di mata asing dan itu akan membuat investor lari dari Indonesia.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI), Nezar Patria, di Jakarta, Rabu, menyatakan kecewa dengan pernyataan Dipo Alam soal pemboikotan media yang dinilai Dipo menjelekkan pemerintah.

Menurutnya, Indonesia adalah negara demokrasi sehingga tidak mungkin meninggalkan kritik, karena kritik merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari demokrasi. Selain itu, salah satu fungsi pers demokrasi adalah mengontrol pemerintah yang wujudnya melalui kritik dan pendapat.

Apabila pemboikotan terhadap media ini jadi dilakukan, maka menurut Nezar, hal itu akan mencederai hak masyarakat untuk mengetahui suatu informasi. Nezar mengatakan, "Tindakan boikot itu sendiri itu bisa menimbulkan ketidakjelasan informasi, sehingga media yang harusnya menjadi clearing house information, tidak bisa mewujudkan fungsinya."

Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengungkapkan Dewan Pers sekarang kembali mempertanyakan sikap pemerintah terhadap pers.

Dewan Pers berpendapat pemberitaan buruk tentang pemerintah belum tentu melanggar kode etik. Untuk itu, Dewan Pers, kata Agus Sudibyo, akan segera memanggil Sekretaris Kabinet, Dipo Alam untuk meminta klarifikasi soal pernyataannya tersebut. "Kalau ada berita yang jelek tentang pemerintah, itu ada dua kemungkinannya. Satu, memang pemerintahnya jelek, mengandung banyak kelemahan, mengandung banyak kekurangan dan fungsi media itu memang mengkritik penyelenggaraan kekuasaan. Yang kedua, mungkin saja sudut pandang media itu yang salah sehingga pemerintahan yang ada baik dan buruknya, kelihatan buruk semua," ujarnya.

Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Topane Gayus Lumbuun, menyatakan pemerintah dengan alasan apapun tidak berhak mengintervensi media. Yang berhak menilai media, tambah Gayus Lumbuun adalah publik dan bukan pemerintah. Gayus Lumbuun juga menilai seruan boikot media itu tak ubahnya sikap otoliter pemerintah pada era Orde Baru.

Tindakan pemboikotan terhadap media ini, kata Gayus, melanggar hukum. Pemerintah diminta tak perlu risau dengan kritik dan serangan media.

Seruan boikot tersebut, kata Gayus Lumbuun, merupakan ancaman berbahaya bagi kebebasan pers. "Dimulai dari zaman Presiden Gus Dur, kita sudah mulai dengan mereformasi kebebasan pers. Kita menegakan kebebasan pers itu untuk penerangan atau transparansi kepada publik. (Tapi), ini kembali lagi pada zaman pers (yang) dikekang dan dikontrol oleh kekuasaan," jelasnya.

Direktur Program The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Al-Araf, mengatakan ekspresi dan kebebasan pers adalah hak konstitusional yang harus dijamin negara. Pembatasan, kata Al-Araf, tidak bisa dilakukan terhadap siapapun yang melakukan kritik terhadap pemerintah.