Aktivis kesehatan mendesak evaluasi Kartu Jakarta Sehat menyusul sejumlah kasus pasien pemegang kartu yang ditolak rumah sakit.
JAKARTA —
Kematian seorang pasien remaja perempuan berusia 15 tahun, di Jakarta Utara akhir pekan kemarin menambah panjang daftar kasus pasien pemegang Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang ditolak rumah sakit.
Sama seperti kasus-kasus sebelumnya, gadis belia itu meninggal setelah ditolak empat rumah sakit karena alasan ruang perawatan penuh. Meski akhirnya sempat mendapat perawatan medis, namun pada sabtu lalu, korban menghembuskan nafas terakhirnya karena keluhan kesehatannya terlambat ditangani.
Sebelumnya pertengahan februari lalu, seorang bayi lahir prematur juga akhirnya meninggal setelah ditolak 10 rumah sakit.
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo berjanji akan segera menambah ruangan kelas III untuk mencegah kasus serupa terjadi. Meski demikian, Joko menyatakan akan terus mengintegrasikan sistem KJS dengan seluruh rumah sakit di Jakarta dan memberi sanksi tegas kepada rumah sakit yang menolak diintegrasikan dengan sistem KJS.
“Yang diperlukan sekarang bagaimana memperbaiki dan bagaimana mengurangi agar itu tidak terjadi lagi karena memang yang di bawah, yang ditahan di rumah, tidak ke rumah sakit, tidak berani ke rumah sakit itu ratusan ribu,” ujar Joko.
“Dulu di Solo juga sama, ya dipaksa, diancam kalau minta izin tidak dikeluarkan. Kalau minta tambahan untuk ruangan kan harus izin dan lain-lain tidak akan diberi kalau rumah sakit tidak mau melayani,” tambahnya.
Kebijakan kartu sehat ini berhasil mendongkrak jumlah masyarakat yang mengakses layanan kesehatan hingga 60 persen. Namun, menurut Marius Widjayarta dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan, kebijakan sistem KJS yang tidak disertai kesiapan infrastruktur, sehingga memunculkan sejumlah masalah dalam pelaksanaannya.
Masalah yang muncul mulai dari kurangnya infrastruktur seperti ruang perawatan, koordinasi antar rumah sakit rujukan, hingga tunggakan pembayaran dana jaminan oleh pemerintah daerah yang menyebabkan tagihan utang yang ditanggung rumah sakit melonjak hingga puluhan miliar rupiah.
Marius mengatakan satu langkah perbaikan yang mendesak dilakukan menurut adalah penerapan sistem jenjang rujukan pelayanan kesehatan untuk mencegah penumpukan pasien di rumah sakit seperti yang saat ini banyak terjadi.
“Setiap orang berobat itu tidak bisa langsung ke rumah sakit, jadi ada tingkatannya mulai dari puskesmas. Dari puskesmas kalau perlu dirujuk ke rumah sakit umum daerah setelah itu bisa juga ke rumah sakit swasta,” ujarnya.
“Sementara ini peserta-peserta kartu Jakarta sehat langsung ke rumah sakit. Akibatnya, yang penyakit-penyakit ringan semua masuk rumah sakit. Tidak semua pasien itu gawat, kalau cuma batuk pilek, panas biasa harusnya rujukan pertamanya puskesmas.”
Menurut Marius, masyarakat juga perlu diberi pemahaman soal pelayanan KJS yang benar, seperti bagaimana prosedur penanganan pasien hingga pencarian rumah sakit rujukan yang sesuai dengan keluhan sakitnya.
Tanpa sosialisasi ini, peluang munculnya kabar tak sedap seputar pelaksanaan KJS akan semakin banyak. Dampaknya akan sangat kontra produktif, dimana rumah sakit merasa disudutkan sementara publik ragu terhadap kesungguhan pelayanan yang dijanjikan pemerintah DKI.
Sama seperti kasus-kasus sebelumnya, gadis belia itu meninggal setelah ditolak empat rumah sakit karena alasan ruang perawatan penuh. Meski akhirnya sempat mendapat perawatan medis, namun pada sabtu lalu, korban menghembuskan nafas terakhirnya karena keluhan kesehatannya terlambat ditangani.
Sebelumnya pertengahan februari lalu, seorang bayi lahir prematur juga akhirnya meninggal setelah ditolak 10 rumah sakit.
Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo berjanji akan segera menambah ruangan kelas III untuk mencegah kasus serupa terjadi. Meski demikian, Joko menyatakan akan terus mengintegrasikan sistem KJS dengan seluruh rumah sakit di Jakarta dan memberi sanksi tegas kepada rumah sakit yang menolak diintegrasikan dengan sistem KJS.
“Yang diperlukan sekarang bagaimana memperbaiki dan bagaimana mengurangi agar itu tidak terjadi lagi karena memang yang di bawah, yang ditahan di rumah, tidak ke rumah sakit, tidak berani ke rumah sakit itu ratusan ribu,” ujar Joko.
“Dulu di Solo juga sama, ya dipaksa, diancam kalau minta izin tidak dikeluarkan. Kalau minta tambahan untuk ruangan kan harus izin dan lain-lain tidak akan diberi kalau rumah sakit tidak mau melayani,” tambahnya.
Kebijakan kartu sehat ini berhasil mendongkrak jumlah masyarakat yang mengakses layanan kesehatan hingga 60 persen. Namun, menurut Marius Widjayarta dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan, kebijakan sistem KJS yang tidak disertai kesiapan infrastruktur, sehingga memunculkan sejumlah masalah dalam pelaksanaannya.
Masalah yang muncul mulai dari kurangnya infrastruktur seperti ruang perawatan, koordinasi antar rumah sakit rujukan, hingga tunggakan pembayaran dana jaminan oleh pemerintah daerah yang menyebabkan tagihan utang yang ditanggung rumah sakit melonjak hingga puluhan miliar rupiah.
Marius mengatakan satu langkah perbaikan yang mendesak dilakukan menurut adalah penerapan sistem jenjang rujukan pelayanan kesehatan untuk mencegah penumpukan pasien di rumah sakit seperti yang saat ini banyak terjadi.
“Setiap orang berobat itu tidak bisa langsung ke rumah sakit, jadi ada tingkatannya mulai dari puskesmas. Dari puskesmas kalau perlu dirujuk ke rumah sakit umum daerah setelah itu bisa juga ke rumah sakit swasta,” ujarnya.
“Sementara ini peserta-peserta kartu Jakarta sehat langsung ke rumah sakit. Akibatnya, yang penyakit-penyakit ringan semua masuk rumah sakit. Tidak semua pasien itu gawat, kalau cuma batuk pilek, panas biasa harusnya rujukan pertamanya puskesmas.”
Menurut Marius, masyarakat juga perlu diberi pemahaman soal pelayanan KJS yang benar, seperti bagaimana prosedur penanganan pasien hingga pencarian rumah sakit rujukan yang sesuai dengan keluhan sakitnya.
Tanpa sosialisasi ini, peluang munculnya kabar tak sedap seputar pelaksanaan KJS akan semakin banyak. Dampaknya akan sangat kontra produktif, dimana rumah sakit merasa disudutkan sementara publik ragu terhadap kesungguhan pelayanan yang dijanjikan pemerintah DKI.