Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, yang terkenal karena karya pionirnya di bidang keuangan mikro, menghadapi persidangan baru dalam kasus pidana yang akan digelar pekan depan di Bangladesh. Yunus menghadapi tuduhan penggelapan lebih dari $2 juta (sekitar 32 miliar rupiah) dana kesejahteraan pekerja di organisasi nirlaba miliknya, Grameen Telecom.
Yunus, yang juga saingan politik Perdana Menteri Sheikh Hasina, dijatuhi hukuman enam bulan penjara pada Januari karena melanggar undang-undang ketenagakerjaan di organisasi nirlaba tersebut. Dia tetap dibebaskan dengan jaminan, tetapi menghadapi hampir 200 dakwaan tambahan, sebagian besar kasus perdata. Yunus sudah membantah semua dakwaan itu.
Dalam kasus saat ini, jaksa penuntut menuduh bahwa Yunus dan para terdakwa mengalihkan dana dari dana kesejahteraan pekerja Grameen Telecom, yang merupakan pemangku kepentingan utama di Grameenphone, operator telepon seluler terbesar di Bangladesh. Yunus membantah tuduhan tersebut.
BACA JUGA: Permohonan Jaminan Peraih Nobel Muhammad Yunus Disetujui PengadilanPersidangan terhadap Yunus, yang dijadwalkan dimulai pada 15 Juli, telah menarik perhatian dunia di tengah kekhawatiran mengenai potensi hukum penjara atas dirinya. Pengacaranya, Abdullah Al-Mamun, mengatakan kepada VOA bahwa jika terbukti bersalah, pria berusia 83 tahun itu bisa menghadapi “hukuman penjara yang berat, bahkan mungkin hukuman seumur hidup.”
Kekhawatiran atas persidangan yang adil
Para aktivis dan pendukung hak asasi manusia khawatir bahwa pemerintah Bangladesh mungkin akan memenjarakan Yunus sebagai bagian dari perseteruan hukum dan politik melawannya. Analis politik yang berbasis di Dhaka, Zahed Ur Rahman, menyatakan keprihatinannya atas pemenjaraan yang didorong oleh “balas dendam” dari Hasina.
“Dari tingkat tertinggi pemerintahan, termasuk perdana menteri, pernyataan agresif telah dibuat mengenai perkara yang belum diputuskan oleh pengadilan. Dia (Hasina) tidak menahan diri. Mengingat keadaan sistem hukum dan peradilan di negara ini, Dr. Yunus tidak akan menerima perlakuan yang adil, kata Rahman kepada VOA.
Tim kuasa hukum Yunus menilai tuduhan penggelapan tersebut murni “tidak berdasar dan sembrono” dengan alasan agar penggelapan terjadi, dana harus diselewengkan dari hak asuh seseorang, yang menurutnya tidak terjadi.
“Uang yang dimaksud telah disetorkan dengan benar ke rekening bank sebagaimana diamanatkan dalam perjanjian penyelesaian antara serikat pekerja dan Grameen Telecom, sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan. Dengan demikian, tidak ada dasar tuduhan penggelapan.” Al-Mamun mengatakan kepada VOA.
Ia menyatakan keprihatinannya bahwa persidangan yang adil tidak akan mungkin terwujud, mengingat partisipasi pemerintah dalam "kampanye kotor" terhadap Yunus, dan menyatakan kekhawatirannya bahwa Yunus tidak akan menerima keadilan bahkan di pengadilan tertinggi sekalipun.
“Kami mengalami kemajuan dalam setiap langkah dan pada akhirnya akan mengajukan perkara ke pengadilan tertinggi. Namun sayangnya, apa yang telah berulang kali kami lihat adalah bahwa pengadilan tertinggi di negara ini belum memberikan putusan secara independen berdasarkan manfaat dari kasus-kasus ini. Kemungkinan besar kami tidak akan melakukannya. menerima keadilan kali ini juga. Namun, kami akan mengikuti semua prosedur."
BACA JUGA: Muhammad Yunus Bertekad Lawan Gugatan Hukum Demi Capai Kebijakan Ekonomi Baru di BangladeshKampanye Hasina melawan Yunus
Ketegangan antara Yunus dan Hasina dimulai pada 2007 setelah Yunus mengusulkan pembentukan partai politik, Kekuatan Warga (Citizens Power), untuk memberantas korupsi dan polarisasi. Meskipun singkat, para analis mengatakan langkah tersebut memperkuat pandangan Hasina bahwa Yunus adalah saingannya. Pemerintahan Hasina memulai serangkaian penyelidikan terhadap Yunus setelah berkuasa pada 2008.
“Dia tidak bisa menoleransi bahwa Dr. Yunus dipandang sebagai alternatif politik. Kecemburuannya dipicu oleh Hadiah Nobel dan dukungan global yang diterimanya,” kata Rahman.
"Dr. Yunus mulai mengkritik rezim secara terbuka, dan hal ini memberikan tekanan pada pemerintah. Tampaknya inilah motivasi di balik kampanye untuk mendiskreditkan dan mempermalukannya."
Dalam konferensi pers pada 25 Juni di kediamannya, Perdana Menteri Sheikh Hasina mengkritik surat terbuka yang ditandatangani oleh lebih dari 100 peraih Nobel dan tokoh-tokoh terkemuka yang mendukung Muhammad Yunus dan hanya menyebutnya sebagai "iklan" yang didanai oleh Yunus sendiri.
Hasina yang sering menyebut Yunus sebagai "pengisap darah orang miskin" dan mengkritik praktik pinjaman mikro Grameen, menuduh Yunus mengambil pujian atas upaya pengentasan kemiskinan yang menurutnya telah dicapai oleh pemerintahannya.
Dia menyatakan bahwa pemerintahannya telah mengurangi kemiskinan secara signifikan selama 15 tahun terakhir dari 41,6 persen menjadi 18,7 persen.
Sementara itu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) memantau dengan cermat kasus yang menimpa Yunus. AS menyuarakan kekhawatiran mengenai potensi penyalahgunaan undang-undang ketenagakerjaan Bangladesh untuk melecehkan Yunus.
Dalam jumpa pers pada 9 Juli, juru bicara Mathew Miller menekankan bahwa penyalahgunaan tersebut dapat melemahkan supremasi hukum dan menghambat investasi asing. [ft/ah]