Pemerintah tengah menyusun peraturan presiden yang akan mempermudah izin pembangunan rumah beribadah. Perpres ini disusun setelah pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat melakukan kajian terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadah yang dinilai “banyak kendala di lapangan.”
Hingga saat ini masih ada umat beragama yang kesulitan mendirikan rumah ibadah yang salah satunya karena tidak mendapatkan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di daerah masing-masing serta syarat administrasi berupa 60 dukungan masyarakat dan 90 kartu identitas pengguna rumah ibadah.
Juru bicara Kementerian Agama, Mariana Hasbie, menjelaskan dalam perpres tersebut nantinya, rekomendasi izin pendirian rumah ibadah cukup dengan satu rekomendasi dari kepala kantor Kementerian Agama di daerah setempat dan tidak memerlukan lagi rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Harapannya di setiap daerah memiliki prosedur tetap yang sama.
Dia menegaskan perpres tersebut tidak menghapus peran FKUB. Forum tersebut akan diberdayakan untuk menangani atau menjadi motor untuk kerukunan umat beragama di daerah masing-masing atau menjadi forum yang menjaga kerukunan beragama di tingkat daerah.
Dalam Pprpres tersebut, lanjut Mariana, syarat administrasi berupa 60 dukungan masyarakat dan 90 kartu identitas pengguna rumah ibadah juga akan diubah jadi lebih memudahkan. Meski dia tidak menjelaskan lebih rinci terkait hal tersebut karena tambahnya masih dalam pembahasan.
“Intinya perpres ini semangatnya adalah memfasilitasi umat beragama agar bisa beribadah, mempermudah pendirian rumah ibadah , semangatnya memfasilitasi dan memudahkan,” kata Mariana kepada VOA.
BACA JUGA: Setelah Konflik 15 Tahun, GKI Yasmin Bogor Akhirnya DiresmikanSekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, Pendeta Henry Lokra mengatakan sebenarnya rekomendasi FKUB dalam mendirikan rumah ibadah bukan merupakan surat izin tetapi ibarat “sowan” di masyarakat supaya tidak menimbulkan pertentangan antar kelompok masyarakat.
Namun pada praktiknya menjadi masalah karena beberapa FKUB merasa rekomendasi itu kewenangan tinggi atau surat izin. Selain itu, FKUB di beberapa daerah justru dijadikan senjata oleh kelompok intoleran untuk melarang pendirian rumah ibadah.
Your browser doesn’t support HTML5
Dan apabila terjadi penolakan pendirian rumah ibadah oleh kelompok tertentu, FKUB tidak melaksanakan perannya untuk menggelar komunikasi ataupun dialog dalam rangka menjembatani kedua belah pihak.
Henry juga berharap dalam perpres tersebut tidak ada lagi aturan soal syarat mendirikan rumah ibadah berupa 60 dukungan masyarakat dan 90 kartu identitas pengguna rumah ibadah.
“Di lapangan satu KTP ada harganya. Bisa sampai 1 juta atau lebih satu KTP. Jadi untuk mendapat KTP dukungan, dalam prakteknya itu dikasih harga. Anda mau kami bantu, sudah bantu keluarkan KTP, ini ada harganya nih. Bahkan ada yang sudah mengurus sampai kecamatan tapi tidak selesai juga. Mereka sudah menghabiskan uang milliard rupiah padahal sampai sekarang gereja tidak bisa dibangun.
Selain itu, kata Henry, persyaratan 90 kartu identitas pengguna rumah ibadah juga menyulitkan untuk beberapa wilayah. Dia mencontohkan di Bandung Selatan. Di wilayah tersebut, sudah 30 tahun tidak dapat mendirikan gereja, salah satunya karena persyaratan tersebut.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menjelaskan di banyak kasus, FKUB memang menjadi salah satu aktor sekaligus faktor yang menjadi hambatan dalam proses pengajuan pendirian rumah ibadah karena keanggotaan FKUB “perpanjangan tangan” kelompok mayoritas setempat karena asas keanggotaannya itu proporsional artinya mereka dipilih secara proporsional bukan menggunakan perspektif representasi .
“Kalau kita cek beberapa kasus FKUB akhirnya berada dalam posisi sekedar untuk menyetujui atau tidak menyetujui, karena keanggotaanya itu perpanjangan tangan kuasaan mayoritas maka dia sebenarnya kalo tidak menyetujui, mayoritas setempat tidak menyetujui pendirian rumah ibadah dengan menggunakan badan FKUB,” jelas Halili.
Untuk itu dia setujui dengan dihilangkannya kewenangan FKUB dalam memberikan rekomendasi dalam mendirikan rumah ibadah. Menurutnya masih banyak kewenangan lain yang bisa dilimpahkan kepada forum tersebut dalam konteks pemeliharaan kerukunan umat beragama.
BACA JUGA: Selubung Patung, Toleransi dan Pelajaran dari SingkawangFKUB tambahnya harus difokuskan pada kemajuan kerukunan umat beragama dengan memperbanyak pertemuan atau dialog lintas agama. Meski dia mengakui memangkas otoritas FKUB saja tidak cukup untuk menekan atau meniadakan aksi-aksi penolakan pendirian rumah ibadah di Indonesia.
Kementerian Agama, lanjutnya, juga punya tugas untuk membangun ekosistem yang bisa menerima kelompok minoritas.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Kerukunan Antarumat Beragama, Yusnar Yusuf menyarankan agar pemberian rekomendasi FKUB atas pendirian rumah ibadah jangan diubah, tapi justru diperkuat.
“Bagi kita tidak masalah cuma bisa saja terjadi besok benturan di bawah . Nanti ada masyarakat yang tidak setuju dengan pendirian rumah ibadah itu nanti akan terjadi unjuk rasa di bawah ataupun itu terjadi adu jotos,” kata Yusnar.
Menurutnya rekomendasi dari FKUB penting. Rumah ibadah didirikan harus jelas fungsinya. Ketika ada permintaan pendirian rumah ibadah, FKUB akan menanyakan tentang aturan yang sudah ada. Salah satunya harus ada rekomendasi 60 rumah tangga yang mendukung berdirinya rumah ibadah dan ada minimal 90 orang yang menggunakan rumah ibadah tersebut. Kalau itu tidak dipenuhi FKUB tidak bisa memberikan rekomendasi persetujun.
Yusnar berharap Kementerian Agama mengundang ormas-ormas keagamaan untuk membahas Perpres tersebut demi menghindari konflik yang terjadi di lapangan.
Keanggotaan FKUB terdiri dari wakil-wakil ormas keagamaan dan pemuka agama setempat. [fw/ah]