Pemerintah, Senin (18/7), mendesak perusahaan raksasa teknologi untuk segera mendaftar penyelenggara sistem elektronik (PSE) sebelum 20 Juli 2022. Pemerintah mengancam akan memblokir perusahaan teknologi besar seperti Google dan Meta, jika luput mendaftar dari batas waktu yang telah ditentukan tersebut.
Persyaratan untuk mendaftar PSE adalah bagian dari regulasi baru yang pertama kali dirilis pada November 2020. Berdasarkan aturan tersebut, pemerintah berwenang untuk memerintahkan platform untuk menghapus konten yang dianggap melanggar hukum, atau yang "mengganggu ketertiban umum" dalam waktu empat jam jika dianggap mendesak, dan 24 jam jika dianggap tidak mendesak.
Menkominfo Johnny G. Plate. (Foto: kominfo.co.id)
Dalam sebuah pesan teks kepada Reuters, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mendesak perusahaan-perusahaan terkait untuk mendaftar sebelum sanksi diterapkan. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), mengatakan bulan lalu bahwa perusahaan platform dapat diblokir jika tidak mematuhi aturan itu.
Berdasarkan data Kominfo, hingga Senin (18/7), lebih dari 5.900 perusahaan domestik dan 108 perusahaan asing telah mendaftar, termasuk aplikasi video pendek TikTok dan perusahaan streaming musik Spotify.
Namun platform lain, seperti milik Alphabet Inc, Twitter dan Meta Platforms Inc yang memiliki Facebook, Instagram dan WhatsApp, belum mendaftar.
BACA JUGA: Netizen Indonesia Dinilai Tak Beradab, Pakar Serukan Pemerintah Atur Perusahaan Medsos
Juru bicara Facebook, Twitter, WhatsApp dan Google, tidak menanggapi permintaan tanggapan.
Sistem perizinan yang baru berlaku bagi seluruh SPE, baik berasal dari domestik maupun mancanegara.
Pemerintah juga dapat memaksa perusahaan untuk mengungkapkan komunikasi dan data pribadi pengguna tertentu jika diminta oleh penegak hukum atau lembaga pemerintah.
Pemerintah mengatakan aturan baru telah dirumuskan untuk memastikan penyedia layanan internet melindungi data konsumen, dan konten online digunakan dengan cara yang "positif dan produktif.”
Logo WhatsApp messenger terlihat di sebuah layar ponsel di Moskow pada 26 Agustus 2021. (Foto: AFP)
Terlepas dari ancaman tersebut, beberapa analis meragukan pemerintah akan segera memblokir platform yang tidak patuh, terutama mengingat masyarakat, termasuk pejabat negara di Tanah Air, menggunakan beberapa platform secara massif.
Dengan populasi 270 juta anak muda yang cerdas secara digital, Indonesia adalah pasar 10 teratas secara global berdasarkan jumlah pengguna untuk sejumlah perusahaan media sosial, termasuk TikTok, Twitter, dan Facebook.
Beberapa aktivis mengatakan pasal baru yang terkait dengan konten menimbulkan ancaman terhadap privasi dan kebebasan berekspresi.
BACA JUGA: Pemerintah Membentuk Tim Kajian UU ITE
"Analisis kami menunjukkan bahwa (aturan) ini akan menjadi peraturan yang paling represif di kawasan ini," kata Nenden Arum, dari organisasi terkait hak digital, Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet).
Johnny G. Plate mengatakan persyaratan pendaftaran bersifat administratif dan tidak terkait dengan konten.
Perusahaan Jerman yang bergelut dalam bidang data pasar dan konsumen, Statista, memperkirakan terdapat 191 juta pengguna media sosial di Indonesia pada Februari 2022. Hanya China dan India yang memiliki lebih banyak pengguna media sosial - dibandingkan dengan Indonesia- di kawasan Asia Pasifik. [ah/rs]