Selagi Presiden AS Donald Trump siap menandatangani larangan perjalanan yang telah direvisi pekan ini, Departemen Keamanan Dalam Negeri mengeluarkan pedoman baru yang akan meningkatkan deportasi dan mengetatkan penegakan peraturan imigrasi.
Pemerintahan Trump bertindak penuh semangat dalam penindakan kerasnya terhadap imigran ilegal. Memo yang baru dirilis dari Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) menguraikan pendekatan yang lebih agresif untuk penegakan undang-undang imigrasi.
Dalam konferensi pers hari Selasa (22/2), juru bicara Gedung Putih Sean Spicer mengatakan, “Memo mengenai perintah eksekutif tentang keamanan perbatasan dan perbaikan penegakan imigrasi itu menguraikan langkah-langkah yang akan diambil oleh DHS untuk mengamankan perbatasan selatan negara ini, mencegah berlanjutnya imigrasi ilegal dan memulangkan imigran gelap dengan cepat, konsisten dan manusiawi.”
Pedoman baru itu merinci rencana mempercepat deportasi, meningkatkan jumlah orang yang menjadi prioritas untuk dideportasi dan meminta bantuan aparat penegak hukum lokal.
Memo itu juga menghendaki perekrutan 15.000 lebih polisi imigrasi dan bea cukai atau ICE (Immigration and Customs Enforcement) dan agen patroli perbatasan.
Menurut Gedung Putih, tujuannya bukan deportasi massal, seperti disampaikan oleh Sean Spicer berikut, "Pesan dari Gedung Putih dan DHS ini adalah bahwa orang-orang yang berada di negara ini dan menimbulkan ancaman bagi keselamatan publik atau telah melakukan kejahatan akan menjadi yang pertama yang dideportasi, dan kami akan secara agresif memastikan itu terjadi.”
Memo itu tidak menghapus atau membatalkan perlindungan bagi mereka yang termasuk dalam program Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA), yakni kebijakan yang melindungi orang-orang yang dibawa ke Amerika oleh orang tua mereka ketika masih kanak-kanak.
Program ini memberi imigran gelap tertentu kesempatan bekerja dan tinggal di Amerika Serikat, meskipun tidak memberikan status hukum.
Your browser doesn’t support HTML5
Peraturan baru itu muncul selagi Presiden Trump siap mengeluarkan versi revisi larangan perjalanan sementara, yang diblokir oleh pengadilan.
Perintah eksekutif yang awalnya diterbitkan pada akhir Januari itu menarget tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim, yakni Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman. Larangan sementara itu memicu protes massa di bandara-bandara di seluruh Amerika Serikat. Gedung Putih mengatakan Trump tidak akan membatalkan perintah eksekutif yang telah dikeluarkan itu, seperti disampaikan oleh Sean Spicer.
“Kami akan menang karena kewenangan diberikan kepada presiden untuk melakukan apa yang mesti dia lakukan untuk melindungi negara,” jelas Sean Spicer. [lt/uh]